Melihat Aturan Pajak Bioskop yang Bakal Distandardisasi Jokowi

CNN Indonesia
Kamis, 30 Nov 2023 17:57 WIB
Ada dua UU yang menjadi alas hukum pajak bioskop, yakni UU HKPD dan UU PDRD. Besaran pungutan di masing-masing UU berbeda.
Ada dua UU yang menjadi alas hukum pajak bioskop, yakni UU HKPD dan UU PDRD. Besaran pungutan di masing-masing UU berbeda. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengatur ulang pajak bioskop yang sudah berlaku selama ini. Menteri BUMN Erick Thohir menyebut ke depan pajak bioskop akan distandardisasi.

Teknisnya akan dituangkan dalam peraturan presiden (perpres) yang diklaim menjadi payung hukum ekosistem perfilman Tanah Air, mulai dari segi perpajakan, perizinan, sampai pendanaan.

"Pak Presiden akan mengumumkan sebuah kebijakan, di mana kita sebagai negara berpihak kepada industri film nasional. Kita sebagai pemerintah menstandardisasi pajak film untuk di seluruh daerah," kata Erick via akun Instagram resminya, Senin (27/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bahwa seluruh pungutan pajak, karcis bioskop itu sama di semua daerah. Nanti akan ditaruh satu fund untuk khusus film nasional," imbuhnya.

Pengamat Pajak Daerah MUC Consulting Ferry Irawan mengatakan pajak bioskop seharusnya mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Dalam UU itu, bioskop masuk sebagai hiburan dan dikenakan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT).

Ia mengutip Pasal 58 UU HKPD yang menyebutkan tarif PBJT ditetapkan paling tinggi 10 persen. Sedangkan pada Pasal 58 ayat (2) beleid itu mengatakan tarif itu bisa dikerek hingga 40 persen hingga 75 persen atas hiburan untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa.

"Apabila ditelaah, pajak atas bioskop masuk kategori 10 persen. Terkait standardisasi tarif sebetulnya sudah ada, dengan cara menetapkan batas maksimal 10 persen. Namun, pelaksanaannya tergantung masing-masing daerah," katanya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (30/11).

[Gambas:Instagram]

Jika mengacu pada Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015, pajak bioskop dipatok 10 persen. Ini tercantum dalam Pasal 7 beleid tersebut.

Di lain sisi, Ferry mengatakan pajak bioskop yang berlaku saat ini masih berlandaskan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), bukan UU HKPD. Bioskop atau tontonan film masuk dalam pajak hiburan, di mana pada Pasal 45 ayat (1) ditetapkan tarifnya paling tinggi 35 persen.

"Pajak memiliki dua fungsi, yakni budgeter dan regulance. Jika pemerintah ingin meningkatkan animo masyarakat agar menonton di bioskop, maka tarif sebaiknya rendah. Namun, bisa saja di suatu daerah masyarakat penonton bioskopnya cukup tinggi dan daya beli bagus, maka penerimaan pajak bisa meningkat," jelas Ferry.

"Untuk melihat potensi (penerimaan setelah adanya standardisasi pajak bioskop), tentu harus dilihat per kasus di masing-masing daerah," tutupnya.

Senada, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (PK-TRI) Prianto Budi Saptono mengamini adanya dua versi soal tarif bioskop saat ini. Ada yang mengacu UU HKPD sebesar 10 persen, tetapi tak sedikit yang masih mematuhi UU PDRD dengan angka maksimal 35 persen.

Pada akhirnya, Prianto menilai perbedaan ini menimbulkan kesenjangan antardaerah.

"Tarif maksimal 35 persen ini memunculkan kesenjangan di setiap kota dan kabupaten karena tarifnya tergantung perda di kota atau kabupaten tersebut. Jadi, permasalahan yang muncul di setiap kota atau kabupaten adalah karena perda tentang pajak hiburan masih mengacu ke UU PDRD," ungkapnya.

Meski begitu, Prianto paham jika masih ada daerah yang belum menyesuaikan perdanya dengan UU HKPD. Pasalnya, uu yang baru terbit pada 2022 ini masih memberi kelonggaran dua tahun untuk transisi.

Karena UU HKPD berlaku sejak 5 Januari 2022, maka peraturan pelaksananya, termasuk perda, punya waktu penerbitan paling lama hingga 4 Januari 2024.

"Ketika perda baru tentang PBJT yang di dalamnya mencakup pajak hiburan, acuan perda baru tersebut harus ke UU HKPD. Secara otomatis, tidak akan ada kesenjangan tarif pajak karena tarif maksimalnya adalah 10 persen. Kalau pun ada perbedaan, gap-nya hanya 10 persen sesuai UU HKPD, bukan lagi 35 persen seperti di UU PDRD," tutup Prianto.

[Gambas:Video CNN]

(skt/pta)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER