Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengklaim secara global tingkat keberhasilan startup hanya sekitar lima persen. Jadi, tidak terlalu mengherankan sebenarnya banyak startup yang tumbang.
"Dari data yang ada, ada sekitar 4.000 startup di Indonesia. Maka secara matematis, hanya 200 yang berpeluang bertahan dan berhasil. Yang 3.600 mungkin akan bertumbangan. Garis besarnya kira-kira seperti itu," tutur Ronny.
Ia pun mengatakan penyebab bergugurannya startup di Tanah Air beraneka ragam, mulai dari segmen pasar yang kurang spesifik, positioning yang kurang jelas, dan layanan yang kurang sesuai dengan kebutuhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, kegagalan memahami selera dan perilaku konsumen Indonesia, kalah bersaing dengan pemain besar, hingga sampai pada persoalan ketahanan atau endurance permodalan.
Di satu sisi, Ronny mengamini bahwa pasar Indonesia sangat besar. Tapi, terbukti yang bisa bersaing dan bisa memposisikan diri di posisi yang tepat saja yang bisa bertahan.
Apalagi, generasi muda Indonesia yang menjadi pasar utamanya adalah pasar yang sangat kritis soal layanan dari startup.
"Jadi persaingan dalam memanjakan konsumen juga sangat menentukan, termasuk dengan berbagai macam diskon dan lainya," imbuh Ronny.
Ronny berpandangan untuk memenangkan inovasi layanan tersebut, permodalan dan ketahanan permodalan adalah syarat utamanya. Oleh karena itu, startup yang sudah besar akan menjadi semakin besar, sehingga yang baru akan sulit untuk ikut berkompetisi.
terkait masalah di atas, ia pun mengingatkan pemerintah untuk memberikan support, terutama dari sisi kemudahan regulasi. Selain itu pemerintah juga bisa memberikan insentif fiskal dan mendorong ekosistem startup semakin sehat dan fair.
"Plus ikut mendorong dari sisi permodalan melalui institusi yang tepat, misalnya melalui ventura milik BUMN," kata Ronny.
Berbeda dari Akhmad dan Ronny, Peneliti ekonomi digital Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan bangkrutnya startup di Indonesia tak lepas dari tekanan untuk industri perusahaan rintisan digital yang masih belum berakhir dengan seret-nya pendanaan ke industri digital, baik global maupun nasional.
Maka dari itu, kata Nailul, sudah ada dua startup digital yang tutup, Rumah.com dan Pegipegi.
"Tidak adanya pendanaan membuat daya saing dari startup digital berkurang dan tidak bisa menghadapi persaingan yang ketat dengan pemain lainnya," jelas Nailul.
Misalnya startup Online Travel Agency (OTA seperti Pegipegi juga bersaing dengan layanan dari aplikasi atau website maskapai penerbangan dan perhotelan yang juga melayani transaksi jasa mereka.
Terlebih, aplikasi maupun website itu biasanya menawarkan harga yang lebih rendah dan ada keuntungan lainnya yang didapatkan.
Oleh karena itu, OTA harus memiliki pendanaan untuk bisa berkompetisi dengan OTA lain ataupun perusahaan penerbangan dan perhotelan secara langsung.
"Belum ditambah dengan adanya aggregator yang bisa membandingkan harga setiap OTA maupun website perusahaan maskapai/perhotelan," kata Nailul.