Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menilai motif kenaikan pajak hiburan untuk spa cs tampaknya bertujuan untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Pasalnya, pajak hiburan akan masuk ke dalam kas Pendapatan Asli Daerah (PAD), bukan ke pusat.
"Dan mungkin perumus kebijakan melihat bahwa konsumsi pada lima jenis hiburan tersebut relatif masih bisa dinaikkan pungutan pajaknya," tutur Andri.
Namun, ia memandang kenaikan pajak hingga 75 persen terlampau besar dan akan membuat biaya jasa hiburan yang bersangkutan naik drastis. Jika harga naik, konsumen pun bisa berkurang. Apalagi, tingkat substitusi kelima jenis hiburan tadi tergolong tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya, para konsumen relatif sangat mudah berpindah ke hiburan lain jika terjadi kenaikan harga. Menurutnya, bisnis berskala kecil dan menengah bakal menurun pendapatannya secara drastis, bahkan gulung tikar. Alih-alih menaikkan PAD dari kenaikan pajak hiburan, pungutan kas daerah justru bisa turun.
"Karena pendapatan kelima usaha tersebut yang berkurang signifikan sebab terpaksa menaikkan harga, ataupun sirna karena gulung tikar," ujar Andri.
Jika tujuan kebijakan ini adalah untuk menaikkan PAD, ia menilai tarif pajak ini perlu dikaji ulang karena kenaikannya jelas memberatkan. Kebijakan tarif pajak ini juga harus menimbang unsur keprogresifan. Pasalnya, usaha yang belum besar pasti yang paling berat menerima dampaknya jika dikenakan tarif pajak yang sama.
Setali tiga uang, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut banyaknya daerah yang masih memiliki kapasitas fiskal rendah menjadi salah satu dasar munculnya UU HKPD.
Ia menilai hal itu terjadi mengingat di masa-masa berikutnya kebutuhan pembiayaan pembangunan menjadi semakin besar. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mendorong kemandirian di masing-masing daerah guna membiayai program-program pembangunan.
Rendy menyebut yang perlu dikritisi adalah dari mana kemudian angka tarif tersebut muncul.
"Penetapan tarif pajak itu harus didasarkan, salah satunya dari prinsip keadilan. Tentu angka 45 sampai dengan 70 persen ini menggugah terkait unsur keadilan tersebut," kata Yusuf.
Apalagi, imbuh Rendy, jika nantinya tarif pajak ini dipukul rata untuk semua kelompok golongan pengusaha, tanpa memandang skala ataupun sifat usaha mereka. Ketika misalnya dipukul rata, maka akan bertolak belakang dengan prinsip keadilan perpajakan. Belum lagi, daya beli masyarakat di masing-masing daerah pun akan berbeda.
"Perlu dipertimbangkan apalagi kalau kita tahu penentuan tarif ini masih dalam proses perundingan. Kita harapkan angka yang keluar mengakomodir kepentingan-kepentingan yang saya sebutkan," jelas Yusuf.
Ia juga melihat kenaikan pajak yang berimbas pada meningkatnya harga, bisa berpotensi pada PHK. Terlebih, jika kenaikan pajak terjadi di daerah dengan pendapatan per kapita rendah.
Soal kenapa objek hiburan spa cs ini diatur pajaknya menjadi lebih tinggi, Yusuf mengatakan itu karena objek tersebut hampir tersedia di semua daerah sehingga setiap daerah bisa menyerap pajaknya.
"Dan di satu kesamaan kita tahu juga pemerintah membutuhkan cara untuk meningkatkan PAD di masing-masing daerah untuk peningkatan kapasitas fiskal mereka," imbuhnya.
Yusuf juga menyebut agar prinsip keadilan bisa ditegakkan dan mencegah PHK, pemda bisa menahan dahulu perda yang akan mengatur kenaikan pajak itu.
"Karena pajak ini di level daerah, saya kira perda terkait atura pajak ini perlu di hold sementara waktu, sampai ketemu titik ideal tarif yang akan dijalankan," ucapnya.