Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan saat ini konsep kampanye yang di tempat besar, dengan panggung hiburan yang meriah, serta dihadiri oleh simpatisan peserta pemilu sudah tak lagi terlihat.
Padahal, konsep lama tersebut yang paling menguntungkan UMKM konveksi karena banjir orderan. Saat ini, model kampanye disesuaikan dengan perubahan zaman.
"Artinya meskipun konsep kampanye terbuka di lapangan besar dengan menggunakan artis misalnya, itu masih dilakukan tetapi kampanye dengan pola dialog dengan masyarakat langsung dan ikut terlibat atau hadir di tengah-tengah masyarakat itu relatif lebih banyak dilakukan oleh paslon capres dan cawapres," jelasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rendy mengatakan bila dulu kampanye dilakukan hanya melalui Facebook ataupun Twitter. Namun sekarang platformnya bertambah ada TikTok yang dinilai lebih besar pengaruhnya kepada masyarakat.
"Kalau kita bicara dampak ke UMKM menjadi tidak sama lagi jika dibandingkan dengan kondisi 5 atau 10 tahun lalu. Saya tidak punya angka resminya tetapi dugaan saya memang kontribusinya lebih kecil karena pola kampanye dengan menggunakan simpatisan dan membagi-bagikan kaos misalnya, itu relatif sudah ditinggalkan," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan ada faktor lain yang menyebabkan pesanan ke UMKM konveksi berkurang. Salah satunya pesanan kaos saat ini dikerjakan oleh pelaku usaha yang memiliki koneksi dengan partai politik.
"Ada kecenderungan percetakan baliho dan alat peraga kampanye dikelola perusahaan yang terafiliasi timses dan partai. Mobilisasi massa pemilu tahun ini juga lebih rendah, yang artinya percetakan kaos turun tajam," jelas Bhima.
Selain itu, ia melihat bahkan ada capres yang relawannya cetak kaos sendiri. Sehingga pesanannya tidak dalam jumlah banyak seperti tahun politik yang lalu.
Bhima juga melihat perubahan kampanye ke digital memang sudah terlihat nyata. Hal ini tercermin dari berbagai konten politik yang bertebaran di media sosial.
"Ini karena pemilih juga bergeser ke populasi Gen Z atau pemilih pemula dan usia muda, sehingga kampanye digital bisa menjangkau kalangan muda dengan harga lebih murah dibanding cetak baliho," tuturnya.
Menurut Bhima, dampak dari perubahan pola kampanye ini tidak hanya membuat omzet UMKM konveksi turun. Efek lainnya pelaku UMKM mungkin akan berubah menjual produk lain yang tidak ada kaitan dengan pemilu atau bahkan gulung tikar.
"Apalagi yang sebelumnya sudah pasang target tinggi, tapi fakta nya saat pemilu sepi, itu bisa PHK kurangi karyawan. Atau sudah terlanjur pinjam uang, bisa berakhir kredit macet," jelasnya.
Oleh sebab itu, ia menilai solusi yang bisa dilakukan atas masalah ini adalah pelaku UMKM konveksi harus menyadari kalau terjadi perubahan konsep kampanye, sehingga harus ikut merubah strategi, terutama penyedian stok.
"Jangan terlalu berharap pada kampanye cetak fisik. Apalagi periode kampanye akbar berikutnya kan pemilu kepala daerah serentak pada November 2024. Jadi jangan terlalu agresif mengajukan kredit atau stok barang di gudang," pungkas Bhima.
(pta)