Melihat ke belakang, perkembangan industri semikonduktor Taiwan tak bisa lepas dari peran pemerintah yang mengubah ekonomi dari yang tadinya berorientasi ekspor ke teknologi.
Mengutip situs resmi Institut Riset Teknologi Industri (ITRI), pada 1974 lalu, sehari setelah Tahun Baru Imlek, menteri urusan ekonomi Taiwan kala itu Sun Yun-suan sarapan di sebuah kedai di Kota Taipei bersama enam orang pejabat lainnya.
Keenamnya yakni Dirjen Transportasi dan Komunikasi Yu-Shu Kao, Pimpinan Institut Riset Teknologi Industri (ITRI) Chao-chen Wang, Direktur Laboratorium Telekomunikasi Bao-Huang Kang, Sekjen Eksekutif Hua Fei, Dirjen Telekomunikasi Hsien-Chi Fang, dan Direktur Radio Corporation of America (RCA) Wen-Yuan Pan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka berbincang mengenai cara meningkatkan industri Taiwan yang saat itu masih berorientasi padat karya. Salah seorang dari mereka menyarankan kepada Sun untuk melirik industri sirkuit terpadu (IC), semikonduktor yang digunakan pada alat elektronik.
Setelah itu dimulailah penyusunan cetak biru untuk mengembangkan industri IC berteknologi tinggi dengan melibatkan ITRI yang baru berdiri pada 1973. Sebagai proyek awal, Taiwan menyiapkan anggaran sekitar US$10 juta.
Pada 1976, ITRI bekerja sama dengan RCA untuk melakukan transfer teknologi IC dan kontrak lisensi senilai US$4 juta. RCA memperkenalkan wafer 3 inci ke Taiwan dan mulai mengembangkan teknologi manufaktur semikonduktor.
Selang dua tahun, Taiwan berhasil memproduksi IC yang digunakan untuk jam tangan elektronik. Setelah itu, teknologi semikonduktor kian melaju dan menjadi masa depan industri Taiwan.
SVP ITRI Stephen Su mengungkapkan lembaganya memang berperan dalam membantu industri Taiwan berkembang dan bisa bersaing di kancah internasional.
Lihat Juga : |
Selain dari pemerintah, sebagian dana operasional dan riset juga berasal dari industri. Dengan demikian, pihaknya bisa menjadi jembatan untuk memastikan riset terapan yang dilakukan bermanfaat dan menjawab kebutuhan pelaku pasar.
Upaya riset dan pengembangan dilakukan Taiwan secara terbuka dengan menggandeng negara lain. Ketika industri semikonduktor mulai dirintis, ITRI banyak mengirimkan putra-putri terbaik Taiwan untuk belajar ke AS.
Setelah mereka pulang ke Taiwan, mereka menggunakan ilmunya untuk membangun pabrik demo sebelum akhirnya berkembang menjadi pabrik manufaktur.
"Kami pergi ke luar negeri untuk belajar dari pengalaman," ujar Su saat ditemui di Kantor ITRI di Taipei.
Lihat Juga : |
Dengan cara itu, industri semikonduktor Taiwan terus berkembang. Pada saat yang sama, pemerintah dan industri memahami pentingnya peran ITRI. Saat ini, ITRI mendapat alokasi anggaran lebih dari US$600 juta dolar (sekitar Rp9,3 triliun) dan didukung oleh staf dan peneliti sekitar 6.000 orang.
"Kami tidak melakukan penelitian-penelitian yang ujung-ujungnya hanya menulis makalah. Penemuan teknologi adalah penelitian yang kami lakukan untuk membantu masyarakat dan membantu industri berkembang," terang Su.
Su menilai Indonesia memiliki keunggulan tersendiri yakni sumber daya alam yang melimpah dan bonus demografi. Kondisi ini berbeda dengan Taiwan yang populasi dan pasar domestiknya relatif kecil.
Untuk membangun industri unggulan, menurut Su, Indonesia bisa fokus pada satu bidang dan mengembangkannya. Tentu, hal itu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Dalam hal ini, perlu perencanaan, riset, dan peta jalan yang jelas.
Indonesia sendiri sudah memiliki semangat untuk membangun industri unggulan. Hal itu diawali dengan langkah pemerintah melarang ekspor barang mentah, salah satunya nikel.
Sejak 1 Januari 2020, Indonesia melarang ekspor bijih nikel.
Larangan itu dimaksudkan agar industri hilirisasi nikel tumbuh di dalam negeri. Momentum itu pas mengingat kesadaran dunia untuk menciptakan ekonomi hijau kian meningkat, salah satunya dengan mendorong penggunaan kendaraan listrik.
Sementara, nikel merupakan salah satu komponen penting baterai kendaraan listrik. Tak heran, pemerintah bercita-cita agar Indonesia menjadi pemasok baterai kendaraan listrik terbesar di dunia.
Nilai tambah nikel pada 2013 memang sudah melonjak dari US$2,1 miliar menjadi US$33,8 miliar (setara Rp510 triliun) sejak larangan ekspor diberlakukan. Namun, untuk membangun industri baterai kendaraan listrik masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
Berdasarkan Kementerian Ekonomi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengutip United State Geological Survey (USGS), pemanfaatan nikel untuk membuat baterai kendaraan listrik baru 5 persen. Mayoritas nikel masih digunakan untuk membuat baja anti karat (stainless steel).
Perjalanan Indonesia untuk membangun industri unggulan seperti Taiwan memang masih panjang. Kendati demikian, hal itu bukanlah tidak mungkin jika Indonesia terus konsisten dalam mengembangkan industrinya.