Terkait bentuk bansos yang disalurkan, apakah tunai atau lainnya, Ronny menilai itu soal pilihan saja. Namun BLT, katanya, memang bisa dikerjakan lebih cepat dan imbasnya bisa langsung terasa, meskipun imbasnya tidak sustainable alias tidak bersifat pemberdayaan.
Yang menjadi masalah, katanya, justru faktor kepentingan politik elektoral yang bersembunyi di balik keputusan bansos tersebut. Andai saja, Jokowi tidak berpihak ke salah satu kandidat atau tidak memperlihatkan keberpihakannya secara terbuka, maka tidak masalah.
"Tapi nyatanya tidak demikian. Presiden secara de facto memang berpihak, bahkan sempat menyatakan bahwa presiden memang boleh memihak, yang serta merta membuat semua kebijakan bansos mau tak mau berpengaruh secara elektoral ke salah satu paslon, yakni paslon yang didukung presiden," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alhasil yang terjadi, katanya, adalah kebijakan bansos berpeluang menjadi instrumen pork barrel politic yaitu memakai anggaran negara untuk program dan kebijakan intervensionisme untuk menguntungkan salah satu paslon.
Terkait hal itu, Ronny mengatakan ada dua hal yang seharusnya dilakukan. Pertama, para paslon harus non aktif dari segala jabatannya di pemerintahan, agar tidak terjadi "spill over" elektoral dari kebijakan pemerintah yang menggunakan anggaran negara.
Kedua, presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara harus senetral-netralnya. Agar pemilihan umum berada pada level playing field yang sama untuk semua paslon alias tidak ada calon yang menjadi "free rider" atas kebijakan bansos pemerintah.
Ia juga menilai langkah pemerintah mengotak-atik APBN agar bisa mendanai bansos dengan alasan APBN bersifat fleksibel tidak lah tepat.
Ia mengatakan APBN awalnya berbentuk RAPBN yang untuk pengesahannya membutuhkan persetujuan DPR. APBN, katanya, harus dikunci secara jelas di akhir tahun lalu, agar posnya pasti dan tidak diubah-ubah untuk kepentingan pemilu.
Perkara keperluan intervensi, Ronny menilai seharusnya sudah bisa diprediksi dari tahun lalu karena terlihat jelas dari tren pertumbuhan ekonomi yang mulai menurun.
"Jadi anggaran bansos sebenarnya sudah bisa dikunci di tahun lalu, ketika RAPBN diajukan. Jadi bisa terbebas dari kepentingan politik jelang pilpres," katanya.
Yang menjadi pertanyaan, katanya, adalah apakah perubahan pos anggaran tersebut sudah disepakati oleh pemilik anggaran, yakni rakyat via DPR. Kemudian apakah anggaran bansos masih berada dalam ambang batas kesepakatan dengan DPR di APBN 2024.
"Jadi di sini lah letak persoalanya. Bukan soal fleksibel atau tidak fleksibel. Memangnya uang pribadi Menkeu atau Presiden, sampai-sampai bisa seenaknya dianggap fleksibel seperti itu," katanya.
Lihat Juga : |
Senada, Direktur Center of Economic and Law (CELIOS) Bhima Yudhistra mengatakan bansos sangat kental nuansa politis dibandingkan urgensi menyelesaikan masalah daya beli orang miskin.
Menurutnya ada dua hal yang mendasari hal tersebut. Pertama, pemberian bansos cenderung naik signifikan jelang pemilu. Pola itu, katanya, hampir sama dengan siklus anggaran perlindungan sosial (petlinsos) 2014 dan 2019 yang aat itu naik tajam.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, anggaran perlindungan sosial (perlinsos) pada 2014 mencapai Rp439 triliun, lalu turun ke Rp230,7 triliun (2015) dan Rp214,9 triliun (2016).
Anggaran kemudian naik ke Rp216,6 triliun (2017), Rp293,8 triliun (2018), dan Rp308,3 triliun (2019).
"Itu anomali sekali setelah naik tinggi saat pemilu tahun berikutnya anjlok," katanya.
Kedua, pemerintah beralasan pemberian bansos untuk menyelamatkan daya beli dari fluktuasi harga pangan. Ia menilai alasan itu aneh karena di saat yang sama impor pangan terutama beras justru meningkat.
"Saling kontradiksi antara bansos dengan impor. Harusnya kan impor bisa turunkan harga pangan jadi tidak perlu kasih bansos besar besaran," katanya.
Ia menilai bansos berupa BLT akan menimbulkan persepsi pemerintah menjadi 'sinterklas' untuk mendukung salah satu calon. Apalagi, pemerintah sampai menggeser anggaran untuk bansos jelang pemilu.
"Ini akan menimbulkan distorsi pada efektivitas program lainnya. Apalagi kalau anggaran yang digeser adalah anggaran belanja produktif," katanya.