Senada, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan penerima bansos tunai ini memang tidak hanya masyarakat miskin yang ada di data BPS. Tapi juga kelompok rentan.
"Memang tidak mesti masyarakat miskin, tapi target bansos bisa menyasar kalangan yang disebut dengan kelompok rentan, yakni kalangan masyarakat yang pendapatannya hanya sedikit di atas garis kemiskinan (poverty line)," jelasnya.
Menurut Ronny, jumlah penduduk rentan ini bahkan lebih banyak dibandingkan yang ada di kelompok di bawah garis kemiskinan. Jika kelompok ini tidak diberikan bantuan, maka daya belinya akan turun dan menambah jumlah penduduk miskin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah tak ingin hal tersebut terjadi sebab akan dicap gagal mengurangi kemiskinan, karenanya diberikan bansos temporer seperti BLT dan bantuan pangan tersebut.
Sebab, masyarakat di bawah garis kemiskinan pasti mendapatkan bansos rutin seperti Program Keluarga Harapan (PKH).
"Kelompok ini menjadi sasaran strategis kebijakan sosial kesejahteraan seperti bansos, karena posisinya yang rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan hanya dengan kenaikan inflasi satu atau dua persen saja. Sedikit saja daya belinya tergerus, maka mereka akan langsung berada di bawah garis kemiskinan," kata dia.
Namun, di sisi lain, ia juga melihat bisa saja bansos ini sebagai bentuk senjata Jokowi untuk memenangkan anaknya, Gibran di Pilpres 2024.
"Tak dipungkiri tentu ada potensi tersebut. Karena Jokowi memang telah menyatakan diri tidak netral alias memihak, ada potensi spillover elektoral ke salah satu kandidat yang didukung oleh Jokowi," jelasnya.
Sementara, Direktur Center of Economic and Law (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pemberian bansos ini memang bentuk keberpihakan Jokowi terhadap Prabowo-Gibran.
Sebab, menurut Bhima, lebih kental nuansa politiknya dibandingkan urgensi menyelesaikan masalah daya beli orang miskin.
Apalagi, Bhima merasa data penerimanya sangat janggal, karena jumlah KPM nya terlalu besar, sehingga ia mengkhawatirkan tidak hanya dipolitisasi, bansos tersebut rawan dikorupsi.
"Pemberian bansos cenderung naik signifikan jelang pemilu. Model bansos pakai pola BLT maupun bantuan pangan menimbulkan persepsi pemerintah menjadi sinterklas untuk mendukung salah satu calon. Politisasi bansos yang marak juga menimbulkan kekhawatiran data penerima tidak tepat sasaran, rawan dikorupsi," kata dia.
Menurut Bhima, pola penyaluran bansos jor-joran ini memang terus berulang. Terutama, saat pemimpin negara akan lanjut di periode kedua. Di mana, dengan majunya Gibran, serasa Jokowi ikut dalam kontestasi untuk periode ketiga.
"Pola perlinsos nya hampir sama dengan siklus 2014 dan 2019 di mana anggaran perlindungan sosial saat itu naik tajam. Sayangnya efektivitas bansos dipertanyakan karena tidak mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.
Pada 2014 anggaran perlinsos tercatat sebesar Rp484,1 triliun dan kemudian dipangkas menjadi Rp276,2 triliun pada 2015.
Kemudian, pada 2019 Rp308,4 triliun, naik dibandingkan 2015 yang hanya Rp276,2 triliun, 2016 yang sebesar Rp215 triliun, 2017 sebesar Rp216,63 triliun dan 2018 sebesar Rp293,8 triliun. Lalu pada 2024, anggarannya sebesar Rp496,8 triliun, naik dibandingkan 2023 sebesar Rp443,5 triliun.
Selain itu, alasan pemerintah memberikan bansos tambahan untuk menyelamatkan daya beli dari fluktuasi harga pangan, dinilai tidak sinkron dengan kebijakan kenaikan impor saat ini, terutama impor beras.
"Saling kontradiksi antara bansos dengan impor. Harusnya kan impor bisa turunkan harga pangan jadi tidak perlu kasih bansos besar besaran," pungkas Bhima.