ANALISIS

Perlukah Kredit Mahasiswa yang Disebut Ganjar di Debat Dihidupkan Lagi

Dela Naufalia | CNN Indonesia
Senin, 05 Feb 2024 08:53 WIB
Pengamat menyebut kredit mahasiswa memang bisa jadi alternatif mahasiswa memenuhi biaya kuliah. Tapi mereka berharap, kredit murah dan syarat mudah.
Pengamat menyebut kredit mahasiswa memang bisa jadi alternatif mahasiswa memenuhi biaya kuliah. Tapi mereka berharap, kredit murah dan syarat mudah. Ilustrasi mahasiswa memprotes tingginya biaya kuliah imbas UKT. ( ANTARAFOTO/Idhad Zakaria/ed/nz/14)
Jakarta, CNN Indonesia --

Calon presiden nomor urut tiga Ganjar Pranowo ingin menghidupkan kembali program pinjaman pelajar Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI).

Ganjar menuturkan dengan program tersebut, pinjaman mahasiswa untuk membiayai pendidikan mereka di perguruan tinggi pun lebih terjangkau. Selain itu, mahasiswa juga bisa melunasi saat mereka sudah lulus dan bekerja.

"Modanya seperti Yarnen, bayarnya setelah panen. Panennya apa? Ketika dia sudah lulus," ujar dia dalam debat kelima Pilpres 2024 di JCC, Minggu (4/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Maka liberalisasi yang mesti dihentikan ini menurut saya mesti juga diimbangi dengan proporsionalitas kepada mana yang mampu dan mana yang kurang mampu," sambung dia.

Ganjar mengungkap hal tersebut menanggapi pertanyaan capres nomor urut satu Anies Baswedan menyoal banyaknya mahasiswa kesulitan membayar kuliah karena biayanya yang tinggi.

Menjawab Anies, Ganjar menegaskan bahwa liberalisasi pendidikan harus dihentikan. Menurut dia, ini perlu dilakukan agar tak ada lagi kasus mahasiswa yang tak mampu bayar kuliah hingga akhirnya ia meminjam dana ke pinjaman online (pinjol).

Liberalisasi pendidikan sendiri merupakan sebuah sistem yang sengaja diciptakan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dari sektor pendidikan.

Maka itu, ia pun ingin menghidupkan kembali KMI. Lantas sebenarnya perlukah KMI dihidupkan kembali?

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menegaskan bahwa KMI tak perlu dihidupkan kembali. Menurutnya, ide kredit mahasiswa ini malah menjadi bagian dari memuluskan agenda liberalisasi pendidikan.

Ubaid menegaskan skema kredit ini akan sangat membebani mahasiswa, meskipun dengan bunga ringan. Jika skema kredit ini menjadi kebijakan di perguruan tinggi, maka kata dia, kebijakan ini potensial diterapkan di jenjang sekolah menengah dan dasar.

"Saat ini, ada banyak siswa yang sudah lulus di sekolah dasar dan menengah, tapi ijazahnya masih disita oleh sekolah karena belum melunasi tunggakan pembayaran. Apa kemudian juga perlu negara memfasilitasi kredit? Ini salah besar," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Senin (5/2).

"Kita mesti kembalikan pengelolaan pendidikan kita sesuai dengan amanah UUD 1945, di mana semua anak punya hak yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan," sambung dia.

[Gambas:Video CNN]

Ubaid berpendapat tanggung jawab pembiayaan seharusnya ada di pemerintah dan tidak malah dibebankan kepada masyarakat.

"Apalagi berbisnis dengan orang tua melalui skema UKT (uang kuliah tunggal) mahal dan skema kredit. Bahaya ini bagian dari liberalisasi dan komersialisasi pendidikan," tegas dia.

Menurut dia, jika ini diteruskan, termasuk adanya skema kredit, maka ini sama dengan kebijakan orang miskin dilarang kuliah.

Ia pun berpendapat skema kredit ini hanya menguntungkan pihak kampus. Sementara dari sisi mahasiswa dan orang tua, kata dia, ini sangat memberatkan karena beban ekonomi yang menumpuk. Belum lagi, tidak adanya jaminan kerja pasca lulus kuliah.

"Jadi, kapan mereka harus dan bisa mencicil kreditnya? Apalagi kita lihat data, mayoritas tenaga kerja kita, masih lulusan SD. Sementara lulusan PT masih banyak yang nganggung. Kalau pun mereka kerja, banyak pula yang digaji di bawah UMR (upah minimum regional), lalu mereka apa bisa membayar kredit?" kata Ubaid.

Ubaid menjelaskan jika dipaksakan untuk bayar, akan ada dua kemungkinan. Pertama, gagal bayar. Kedua, bisa bayar tapi skemanya sangat panjang, bisa 10-20 tahun baru lunas.

"Artinya, orang tua atau mahasiswa akan terbebas dari utang di usia 40-50 tahun. Sungguh ini kebijakan yang menyengsarakan rakyat," jelas dia.

Ia pun menuturkan banyak skema lain yang bisa dikembangkan selain menghidupkan kembali KMI.

Pertama, anggaran 20 persen untuk pendidikan itu adalah minimal. Artinya, bisa ditingkatkan menjadi 25 persen-30 persen.

Kedua, anggaran pendidikan dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbudristekdikti). Menurut Ubaid, anggaran pendidikan 20 persen banyak tersedot oleh kementerian lain.

"Itu banyak kesedot oleh kementerian lain, angkanya mencapai 26 persen itu dikelola oleh kementerian/lembaga lain. Jika itu semua dikelola oleh Kemendikbudristekdikti, maka pembiayaan UKT yang mahal itu tidak akan terjadi," ujar dia.

Ketiga, mengoptimalkan melalui skema pemanfaatan dana abadi pendidikan, beasiswa, program fellowship dengan menggandeng pihak swasta dan industri, dan juga lembaga-lembaga filantropi.

"Artinya, banyak skema lain selain kredit. Penggunaan cara kredit ini tidak lain hanya untuk kepentingan komersial dan memuluskan agenda liberalisasi pendidikan," tegas Ubaid.

Di sisi lain, pengamat pendidikan di Paramadina Institute for Education Reform (PIER) Mohammad Abduhzen mengatakan perlu adanya ketersediaan kredit mahasiswa dengan syarat dan proses yang ringan dan mudah. Kata dia, ini sebagai alternatif atau darurat bagi mereka yang tidak mampu.

"Kredit yang formal dan legal, terukur, agar mahasiswa terhindar dari jebakan-jebakan rentenir, pinjol misalnya," ucap dia.

Menurut dia, kredit menjadi upaya menjamin agar mahasiswa tidak drop out lantaran ketiadaan biaya karena miskin. Padahal, kata Abduhzen, kesuksesan pendidikan itu sebagai jalan status sosial bagi mahasiswa.

"Kredit mahasiswa jadi sebagai cara negara untuk menjalankan fungsinya dalam public service pendidikan. Dengan KMI yang disediakan secara formal oleh kampus, mahasiswa tidak perlu mencari sumber-sumber pinjaman lain yang belum tentu bermaksud sosial, tetap komersial," jelasnya.

Abduhzen menjelaskan skema untuk meringankan masyarakat dalam beban pendidikan utamanya adalah menyediakan sekolah atau kuliah gratis. Atau tidak, lanjutnya, mungkin para capres bisa memikirkan skema biaya pendidikan semurah mungkin.

"Kalau juga belum mungkin, berpikirlah menyediakan beasiswa sebanyak dan seluas mungkin. Selain beasiswa, juga kredit atau pinjaman dengan proses dan bunga serendah mungkin," jelas dia.

(agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER