Senada, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan saat ini hanya untuk mengejar cuan baik itu pajak maupun PNBP. Padahal, ekspor benih justru menguntungkan investor asing karena harga jauh lebih tinggi saat mereka membesarkannya jadi lobster.
Sementara program pembibitan dan pembesaran benih di dalam negeri jadi terhenti karena akan ada migrasi massal pembudidaya ke penangkap benih.
"Ujungnya eksploitasi BBL (benih bening lobster) akan marak terjadi dan lambat laun kita kehilangan stok BBL," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan pembukaan ekspor benih lobster akan bertentangan dengan semangat hilirisasi sehingga harus menjadi pertimbangan pemerintah.
Namun perlu juga dipahami bahwa semangat hilirisasi hanya modal awal saja. Tantangan utamanya justru ada di lapangan.
Ia mencontohkan hilirisasi di sektor pertambangan. Dunia tambang bauksit Indonesia saat ini, sambungnya, sedang kocar-kacir karena pelarangan ekspor. Pasalnya, kapasitas smelter jauh lebih kecil ketimbang kapasitas produksi penambang bauksit. Alhasil, terjadi over supply, harga jatuh, dan penambang ujung-ujungnya gulung tikar.
Untuk hilirisasi lobster, katanya, harus juga dipikirkan hal semacam itu. Pemerintah harus mendorong hilirisasi benih lobster, sambungnya, tapi tidak perlu menutup keran ekspor jika ternyata kontraproduktif alias merugikan peternak benih karena harga terlalu rendah.
"Jadi pemerintah harus tetap membuka peluang peternak benih lobster mendapatkan harga bagus dengan melakukan ekspor, tapi juga tetap melakukan langkah strategis bagi hilirisasi lobster di dalam negeri," katanya.
Karena itu, Rhonny menilai diperlukan kebijakan yang jelas seberapa besar benih lobster yang boleh diekspor dan seberapa besar kebutuhan dalam negeri harus diutamakan. Bentuk kebijakan yang bisa diterapkan pemerintah katanya bisa seperti domestic market obligation (DMO) yang sudah diterapkan di batu bara.
Dengan begitu, peternak harus memenuhi kuota dalam negeri dulu, baru kemudian boleh melakukan ekspor.
"Jika harus membuka ekspor, maka harus dipastikan pemerintah tetap mendorong upaya hilirisasi lobster alias berbarengan dengan pembukaan ekspor. Dan terakhir, jangan sampai terjadi lagi korupsi, seperti di era Eddy Prabowo," katanya.
Jokowi berkali-kali meminta hilirisasi tak cuma di sektor tambang. Ia juga melirik hilirisasi di sektor perkebunan dan kelautan. Menurutnya, kebijakan itu bisa membuat petani dan nelayan untuk menghasilkan produk bernilai tambah.
"Memang ini harus ada yang dikonsolidasikan. Jadi enggak hanya terus menerus jualan mentahan saja. Perbankan juga saya sampaikan akses pembayaran berikan ke mereka," kata Jokowi dalam dalam Pengukuhan Pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) 2023-2028, pada 31 Juli 2023.
Di kesempatan lain, Jokowi menyebut hilirisasi sumber daya laut bisa memberikan nilai tambah besar. Apalagi, dua pertiga wilayah Indonesia merupakan perairan. Jika tidak mampu mengolah sendiri, Indonesia bisa menggandeng partner luar untuk menghilirisasi produk bawah lautnya.
"Gandeng partner. Rumput laut, tuna, cakalang, tongkol, udang, ini nilai tambahnya sangat berkali-kali, 27 kali nilai tambahnya. Menjadi daging rajungan, 3,2 kali (nilai tambah). Kalau semua dihilirkan di dalam negeri, melompat negara kita. PDB kita bakal melompat, GDP kita akan melompat," imbuhnya.
(pta)