ANALISIS

Menyingkap Alasan Tesla Ogah-ogahan Berinvestasi di RI

Dela Naufalia | CNN Indonesia
Rabu, 22 Mei 2024 07:10 WIB
Posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar tak manjur menggaet Tesla berinvestasi. Ekosistem bisnis hingga ceruk pasar dinilai tak menarik.
Indonesia Terlalu 'Mesra' dengan China Secara Bisnis dan Politik. (Foto: ANTARA/Dokumentasi Pribadi.)

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita berpendapat sebenarnya ekosistem investasi Indonesia belum sekomprehensif China, India, bahkan negara tetangga Malaysia.

Menurutnya, bermodal nikel semata tentu tidak bisa serta-merta membuat investor kendaraan listrik mudah digaet. Ia merinci sejumlah alasan Tesla tak kunjung berinvestasi di RI. Pertama, terkait posisi Indonesia di dalam peta global supply chain yang kurang strategis.

"Sehingga kebutuhan produsen kendaraan listrik untuk bahan baku dan bahan setengah jadi lainnya selain nikel masih harus diimpor, termasuk microchip dan banyak lagi," ujar Ronny kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hanya bermodalkan nikel dan berbagai insentif investasi masih jauh dari cukup untuk mengundang Tesla berinvestasi membangun pabrik kendaraan listrik di sini," sambungnya.

Kedua, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dinilai masih rendah. Imbasnya, Tesla butuh investasi tambahan yang besar untuk menghadirkan SDM yang dibutuhkan.

Ketiga, perkembangan pasar kendaraan listrik kelas premium seperti Tesla, sangat lambat di Indonesia karena faktor harga yang dianggap masih terlalu mahal.

"Membangun pabrik kendaraan listrik Tesla di Indonesia masih belum 'layak' bisnis karena ceruk pasarnya masih sangat terbatas. Pasar yang kecil itu pun didominasi oleh pabrikan Korea dan China, yang harganya jauh lebih ramah dibanding Tesla," jelasnya.

Keempat, Tesla memandang praktik penambangan nikel di Indonesia masih tidak ramah lingkungan. Kelima, industri pengolahan nikel di Indonesia dinilai masih sangat China-sentris.

"Supply chain nikel Indonesia mayoritas dikuasai China sementara saat ini ketegangan dagang antara China dan Amerika masih berlangsung," tutur Ronny.

Keenam, Ronny menduga Tesla juga sedang mengemban amanat geopolitik dari negaranya untuk tidak terlalu memberi angin kepada Indonesia, selama Indonesia masih bermain 'dua kaki' di pentas geopolitik dunia.

"Bahkan Indonesia sudah terkesan lebih dekat kepada China ketimbang Amerika. Jadi bagi Tesa, opsi berinvestasi atau tidak di Indonesia juga dipengaruhi oleh sikap geopolitis pemerintahan Amerika dalam memandang Indonesia di pentas dunia," jelas dia.

Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal pun menjelaskan salah satu pertimbangan sebuah entitas bisnis teknologi ingin menanamkan modalnya di suatu negara adalah kapasitas dari sisi ekosistemnya.

"Karena mereka membutuhkan ekosistem pendukung. Jadi bukan hanya sekadar suka atau tidak suka di Indonesia. Menarik atau tidaknya juga melihat ekosistemnya. Kalau tidak ada, bagaimana bisa berkembang dengan baik?" jelas Faisal.

"Dia (perusahaan teknologi) pasti akan melihat (sebuah perusahaan) itu amatiran atau profesional, kemudian ada dukungan infrastruktur, ekosistem atau tidak, banyak yang harus dilihat," sambungnya.

Ia kemudian membandingkan dengan Malaysia dan Vietnam. Faktanya, lebih banyak perusahaan teknologi tinggi yang tertarik menanamkan modal ke sana karena ekosistem di negara tersebut sudah lebih siap daripada Indonesia.

Kendati dari sisi tingkat upah di Indonesia lebih murah, namun negara-negara sebelah dinilai memiliki kesiapan ekosistem yang dibutuhkan, yang lebih esensial bagi industri teknologi agar mereka dapat beroperasi.

Hematnya, hal ini lah yang perlu dipikirkan Indonesia. Pemerintah perlu mencatat bahwa membangun ekosistem semacam ini tidak bisa sekejap mata atau dengan cara-cara yang sifatnya mencari target-target jangka pendek.

"Butuh waktu panjang untuk membangun ini, puluhan tahun. Jadi kalau pola pikirnya cuman 2-3 tahun untuk membangun, ya susah untuk bisa menguasai satu industri teknologi atau menarik investasi di teknologi," jelas Faisal.

"Itu yang perlu dipikirkan, bagaimana pola pikir yang lebih komprehensif dalam kebijakan dan lebih bersifat jangka panjang yang tidak hanya jangka pendek," lanjutnya.

Faisal pun mengungkap kenapa Indonesia sangat mencita-citakan perusahaan high tech, seperti Tesla maupun Apple, menanamkan modal di dalam negeri. Menurutnya, kemampuan sebuah negara untuk membangun industri teknologi bisa berpengaruh pada nilai tambah (value added) negara tersebut.

Hal ini, menurut dia, dapat meningkatkan posisi Indonesia dalam rantai pasok dunia, bukan lagi sebagai pemasok bahan baku komoditas saja, namun lebih banyak juga ke industri yang bernilai tinggi, seperti industri high tech. Dengan mendorong industri ini, menarik investasinya, dan menciptakan rantai pasok di dalam negeri, diharapkan ada nilai tambah terhadap pertumbuhan ekonomi.

"Jadi kalau posisi kita bisa menguasai yang lebih high value added, lebih cepat tercapai untuk bisa berdampak kepada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Itu yang diharapkan. Itu yang sebetulnya ingin disasar," jelasnya.

(pta)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER