ANALISIS

Ada Anggaran Pendidikan Rp665 T, Biaya Kuliah Kok Masih Mahal?

Sakti Darma Abhiyoso | CNN Indonesia
Selasa, 28 Mei 2024 07:00 WIB
Pengamat menilai pemerintah masih memprioritaskan pendidikan dasar bagi masyarakat sehingga anggaran negara tak banyak membantu meringankan biaya kuliah.
Status komersialisasi kampus disinyalir menjadi salah satu penyebab mahalnya uang kuliah saat ini. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Safir Makki).

Komersialisasi Kampus

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji melihat akar masalah dari mahalnya UKT di PTN adalah status perguruan tinggi. Ini adalah bentuk komersialisasi kampus yang akhirnya mencekik para mahasiswa.

Ada tigas status PTN di Indonesia, yakni satuan kerja (satker), badan layanan umum (BLU), dan berbadan hukum (BH). Semakin otonom kampus tersebut alias PTN-BH, maka mereka bebas mencari pembiayaan untuk keperluannya.

"Jadi, ketika PTN-BH tidak punya sumber pembiayaan yang mencukupi, biaya operasional kampus yang besar itu yang dulunya ditanggung oleh negara kini ditanggung oleh masyarakat melalui skema UKT," ungkap Ubaid.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dengan status PTN-BH, kampus harus mencari pembiayaan mandiri dengan melakukan usaha-usaha profit. Salah satu usaha paling menguntungkan dan tidak mungkin merugikan kampus adalah berbisnis dengan mahasiswa melalui skema UKT ini," imbuhnya.

Oleh karena itu, Ubaid menuntut pemerintah menghapuskan status PTN-BH tersebut. Jika dibiarkan terus menerus, kampus akan semakin leluasa mengerek biaya pendidikan yang dibebankan kepada mahasiswa.

Ubaid meminta urusan pendidikan dikembalikan sebagai hak dasar seluruh warga negara Indonesia. Pendidikan harus menjadi barang publik karena menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh masyarakat.

"Dengan status PTN-BH dan tidak adanya revisi UU Dikti, maka kampus-kampus yang berstatus PTN-BH akan merajalela dan ugal-ugalan melakukan komersialisasi dan menjadikan kampus sebagai lahan bisnis," wanti-wanti Ubaid.

Pengamat Pendidikan Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto melihat status PTN-BH sebenarnya hadir agar kampus bisa lebih mandiri. Nyatanya, kondisi di lapangan tidak sesuai dengan harapan.

Totok mengatakan banyak PTN dengan status paling tinggi tersebut yang malah belum punya sumber penerimaan selain uang kuliah. Akhirnya, uang kuliah yang digenjot habis-habisan untuk menaikkan penerimaan.

"Ini yang mengakibatkan UKT melebar kategorinya dan makin mahal. Seharusnya pimpinan PTN bekerja keras untuk mencari dana di luar uang kuliah agar tidak membebani mahasiswa dan keluarganya," saran Totok.

"Kalau PTN kreatif dalam penelitian dan kolaborasi, maka efeknya tak hanya pendapatan naik, tapi reputasinya juga naik. Tidak jago kandang dan terkungkung seperti katak dalam tempurung," kritiknya.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti melihat dosa pemerintah adalah membiarkan PTN mencari pemasukan sendiri. Akhirnya, kampus-kampus tersebut dengan bebas melakukan komersialisasi.

Esther membandingkan kondisi di tanah air dengan Jerman, di mana negeri orang tersebut diklaim bisa menawarkan biaya kuliah lebih murah. Ia menegaskan perlu ada subsidi silang untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu.

"Sebagian besar anggaran pendidikan itu dialokasikan untuk belanja rutin, seperti belanja pegawai dan sarana prasarana pendidikan. Seharusnya anggaran lebih banyak dialokasikan untuk memperluas akses pendidikan bagi mahasiswa yang kurang mampu diberi beasiswa dan lain-lain," saran Esther.

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menyebut hadirnya UKT merupakan bentuk subsidi silang yang dilakukan negara. Kendati, bantuan operasional PTN (BOPTN) yang terbatas membuat biaya kuliah di kampus negeri masih terasa tinggi.

Yusuf menilai biaya kuliah yang harus ditanggung, utamanya bagi mereka kelompok miskin, masih besar sampai sekarang. Di lain sisi, APBN dinilai tak cukup kuat membantu pendanaan untuk pendidikan tinggi.

"Lemahnya bantuan APBN, memaksa PTN untuk mencari pendanaan dari sumber lain untuk menutup beban operasional yang terus meningkat," ucap Yusuf.

"Alih-alih mencari pendanaan dari dunia usaha atau individu kaya, PTN secara sederhana lebih bertumpu pada pungutan pada peserta didik," sambungnya.



(sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER