ANALISIS

Semua Lagi Susah Payah, Perlukah Tapera Dilanjutkan?

Feby Febrina Nadeak | CNN Indonesia
Rabu, 29 Mei 2024 07:26 WIB
Pengamat meminta pemerintah meninjau Program Tapera terutama di tengah kondisi ekonomi yang tak menentu karena berpotensi membebani pekerja dan pengusaha.
Pengamat menyebut keberadaa Tapera berpotensi meningkatkan beban berat yang sudah ditanggung pekerja dan pengusaha. (ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI).

Segendang sepenarian, Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat MPP mengatakan dana Tapera sebesar 3 persen akan membuat pekerja dan pemberi kerja menghadapi beban ganda.

Pekerja, sambungnya, telah dibebani dengan berbagai iuran seperti pajak penghasilan (PPh) 21, pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan naik menjadi 12 persen di tahun depan, iuran BPJS Kesehatan, dan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan.

Sementara pekerja katanya sudah menanggung beban pungutan sebesar 18,24 persen - 19,74 persen dari penghasilan pekerja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tambahan 3 persen dari gaji melalui Tapera akan semakin membebani kondisi keuangan perusahaan dan pekerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya akibat pandemi dan tekanan ekonomi global," katanya.

Achmad juga mempertanyakan program perumahan melalui Tapera karena sudah ada program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan.

Melalui MLT, sambungnya, pekerja yang menjadi peserta JHT dapat memanfaatkan fasilitas perumahan seperti pinjaman kredit pemilikan rumah (KPR), pinjaman uang muka perumahan (PUMO), pinjaman renovasi perumahan (PRP), dan fasilitas pembiayaan perumahan pekerja/kredit konstruksi (FPPP/KK).

"Mengapa tidak dioptimalkan saja dana MLT BPJS Ketenagakerjaan yang sudah tersedia?" katannya.

Achmad khawatir Tapera justru nantinya akan menguntungkan BP Tapera dan pemerintah daripada publik. Pasalnya ia menilai BP Tapera kurang pengalaman dalam mengelola dana besar serta potensi rendahnya imbal hasil menimbulkan kekhawatiran bahwa manfaat yang diharapkan tidak akan tercapai.

Apalagi pengelolaan keuangan negara sering kali terkesan kurang efektif dan tidak efisien sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa dana Tapera tidak akan dikelola dengan optimal untuk kesejahteraan peserta.

"Pengalaman dengan berbagai program sebelumnya menunjukkan bahwa dana besar yang dikelola oleh pemerintah sering kali tidak memberikan hasil yang maksimal bagi publik," katanya.

Achmad mengatakan konsep Tapera berbeda dengan BPJS Kesehatan. Dalam BPJS Kesehataan, iuran dihitung berdasarkan kelas pelayanan peserta dan digunakan langsung untuk membiayai layanan kesehatan yang dapat diakses oleh peserta sesuai dengan kelas pelayanan yang dipilih.

Sedangkan pada Tapera, iuran yang dipotong dari gaji peserta diinvestasikan terlebih dahulu dengan tujuan pengembangan dana perumahan. Proses ini, katanya, berarti bahwa manfaat yang dirasakan oleh peserta tidak langsung dan sangat tergantung pada efektivitas pengelolaan investasi tersebut.

"Akibatnya, rumah yang diperoleh para pekerja tidak mungkin seragam karena besarnya iuran berbeda-beda dan tergantung pada keberhasilan investasi," katanya.

Achmad menilai Tapera hanya memindahkan tanggung jawab pemenuhan hak atas perumahan dari pemerintah kepada para pekerja. Pasalnya program ini mewajibkan pekerja menyisihkan dana dari gaji mereka yang akhirnya terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Padahal konstitusi, sambungnya, mengamanatkan bahwa hak atas perumahan adalah tanggung jawab pemerintah.

Namun, Tapera justru mengalihkan beban tersebut kepada pekerja.

"Sementara pemerintah hanya berperan sebagai pengumpul dana tanpa memberikan kontrol atau otoritas penuh kepada publik dalam pengelolaan dana tersebut," katanya.



(agt)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER