ANALISIS

Menilik Risiko Obral Kursi Komisaris BUMN

Dela Naufalia | CNN Indonesia
Kamis, 13 Jun 2024 07:15 WIB
TKN Prabowo-Gibran mulai dari Grace Natalie sampai Simon Aloysius Mantiri mendapat jatah kursi komisaris BUMN.
Menggerogoti Kinerja BUMN dan Omong Kosong Reformasi Birokrasi. (Foto: CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita berpendapat masuknya para politisi dan relawan ke dalam jajaran komisaris BUMN menjadi salah satu sebab sulitnya melakukan reformasi BUMN selama ini.

Pasalnya, 'aktor-aktor' ini menjadi 'kuncen' yang menghubungkan kepentingan partai, politisi, dan elit politik ke dalam BUMN yang membuat berbagai kegiatan dan proyek di dalam perusahaan pelat merah menjadi semakin tidak profesional dan semakin rawan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Menurutnya, masuknya para petinggi TKN membuat bisnis dan proyek-proyek di dalam BUMN menjadi tak lagi berdasarkan profesionalisme, melainkan berdasarkan kepentingan politik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, penunjukan para relawan dan orang partai ini, kata dia, juga sangat tidak linier dengan kapabilitas masing-masing komisaris. Lagi-lagi, ini menjadi faktor yang membuat reformasi di dalam perusahaan pelat merah semakin sulit dilakukan.

"Kehadiran mereka tak lebih sekadar simbol dan kehadira politik semata, tanpa memberikan kontribusi apa-apa terhadap perbaikan kinerja BUMN, karena mereka tidak didukung oleh pengetahuan dan keilmuan yang terkait dengan sektor-sektor yang dijalani oleh BUMN terkait," jelas Ronny kepada CNNIndonesia.com, Rabu (12/6).

Ronny menilai penunjukkan ini sebagai umpan balik atas dukungan politiknya selama ini kepada penguasa dan kepada pemenang kontestasi. Soal aturan, memang tak ada larangan relawan masuk ke dalam BUMN sebagai komisaris.

"Karena itulah selama ini BUMN acap menjadi 'ATM' partai dan politisi, karena dikunceni atau diintermediasi oleh komisaris-komisaris dari kalangan relawan dan parpol," tuturnya.

Ia berpendapat peluang anggota tim sukses menduduki kursi komisaris perusahaan pelat merah perlu ditutup. Namun menurutnya, peluang itu sangat kecil. Sebab, aturan seperti itu dipastikan akan ditentang oleh partai-partai dan politisi di parlemen karena akan menutup akses mereka kepada 'ATM' bernama BUMN.

"Artinya, selama ini sudah sering aspirasi untuk menjauhkan BUMN dari parpol dan politisi, tapi tak pernah berhasil, karena memang tak pernah didukung oleh parpol dan politisi," ujar Ronny lebih lanjut.

Di sisi lain, kursi komisaris di BUMN juga dijadikan oleh pemerintah untuk membalas jasa para relawan dan politisi yang telah memberikan dukungan. Alhasil, terjadi simbiosis mutualisme antara pemerintah dan pro politisi, serta relawan atas keberadaan mereka di jajaran komisaris perusahaan pelat merah.

"Apalagi saat ini, pemenang kontestasi didukung oleh koalisi yang sangat gemuk. Sehingga sangat besar kemungkinan BUMN-BUMN akan diinvasi oleh para relawan dan politisi, yang akan membuat agenda reformasi birokrasi menjadi seperti mimpi di siang bolong," tegasnya.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal merasa obral kursi komisaris perusahaan pelat merah dijadikan bentuk apresiasi bagi para tim sukses sudah menjadi rahasia umum.

Menurut dia, BUMN juga seringkali mendapatkan intervensi politik yang kemudian mengganggu dari sisi kinerja untuk bisa maksimal sebagai perusahaan yang harus untung, serta menjalankan fungsinya sebagai agen pembangunan.

Maka idealnya, orang-orang yang diangkat sebagai komisaris memiliki kompetensi untuk menjalankan dua fungsi tersebut. Namun kalau semata-mata dipilih karena kedekatan politik, menurut Faisal, ini yang seringkali menggerogoti kinerja BUMN.

"Dan kita tahu sudah banyak track record BUMN yang tidak perform, karena permasalahan bukan orang yang tepat, tidak mengikuti prinsip right man on the right place," tuturnya.

Oleh karena itu, menurutnya, jika memang harus mengakomodir dari sisi kepentingan politik pemenang Pemilu, tetap harus memperhatikan aspek meritokrasi.

"Jadi walaupun ada kedekatan politik, tapi disaring lagi. Ada memang orang-orang yang punya kompetensi dan punya tanggung jawab untuk mencapai dua hal tadi, meningkatkan kinerja BUMN-nya dan mendorong fungsinya sebagai agent of development," jelas Faisal.

(pta)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER