Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan utang jatuh tempo Rp800 triliun di 2025 itu akan menjadi tantangan berat bagi APBN.
Dengan kondisi fiskal yang sudah cukup berat, ia menilai pemerintah melakukan solusi model lama, yakni gali lobang tutup lobang untuk membayar utang.
"Bunga utang Rp800 triliun akan ditutup dengan mencari pembiayaan utang baru atau penerbitan SBN baru secara besar-besaran," kata Bhima.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi, selama ini Prabowo dinilai sangat terbuka untuk memperlebar ambang batas defisit yang saat ini maksimal 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Ini adalah kondisi yang mengkhawatirkan karena penyerapan utang baru di pasar bisa menurun," jelasnya.
Bila kondisi tersebut terjadi, maka pemerintah akan kembali mengandalkan penerimaan pajak untuk menambah pemasukan negara. Tentunya ini akan memberatkan masyarakat karena pungutan pajak makin banyak. Sebab, penerimaan dari PNBP tidak bisa diharapkan karena harga komoditas unggulan Indonesia diperkirakan loyo di tahun depan.
"Dari pajak bisa makin banyak pungutan. Misalnya, tahun depan PPN (pajak pertambahan nilai) juga naik 12 persen. Ini yang dinamakan kondisi tidak sehat. Karena Rp800 triliun itu saja setara dengan 34 persen atau sepertiga penerimaan pajak 2024, yang ditargetkan sebesar Rp2.300 triliun akan habis untuk membayar utang jatuh tempo," jelasnya.
Sementara, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai nominal bunga utang dan utang yang tinggi harus betul-betul menjadi perhatian Prabowo dalam menyusun rencana belanja, termasuk program yang ingin dijalankan.
Hal ini mengingat dalam lima tahun ke depan ada beban utang yang rutin dibayar, selain utang jatuh tempo sebesar Rp800 T.
"Akhirnya, pemerintah baru harus melakukan prioritas belanja yang memang dibutuhkan dalam kondisi terbatasnya ruang fiskal akibat keharusan melunasi utang yang jatuh tempo," katanya.
Rendy melihat salah satunya yang harus dipertimbangkan dengan matang adalah makan siang gratis. Sebab, apabila terlalu dipaksakan dan memberatkan fiskal, maka utang akan bertambah besar.
"Peningkatan nominal utang tentu harus disikapi dengan penyusunan rancangan program yang memang tidak memberatkan fiskal dalam jangka pendek hingga menengah yang berkaitan dengan penambahan utang baik yang sifatnya pembayaran pokok utang maupun bunga utang," imbuhnya.
Selain itu, Rendy mengingatkan agar pemerintahan baru nantinya harus tetap hati-hati dalam menerbitkan utang baru karena akan memberatkan fiskal. Apalagi kalau utang itu dalam jangka pendek di bawah 5 tahun.
"Ketika utang jatuh tempo yang diterbitkan pemerintah baru itu terjadi bersamaan dengan jatuh tempo utang yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya, maka ini tentu akan membebani ruang belanja APBN," pungkasnya.
(pta/pta)