Rupiah babak belur menjelang akhir pemerintahan Presiden Jokowi.
Sempat berada di level sekitar Rp12 ribu saat awal Jokowi memimpin Indonesia pada 2014 lalu, mata uang garuda kini sudah jatuh makin dalam ke Rp16.365 per dolar AS.
Bahkan, mata uang Garuda serapuh empat tahun lalu. Pada pertengahan 2020 alias di masa pandemi covid-19, rupiah juga sempat anjlok ke kisaran Rp16.575.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong memperkirakan pelemahan rupiah yang terjadi sekarang ini berpotensi berlanjut. Bahkan katanya, tidak menutup kemungkinan rupiah bisa saja tembus hingga posisi Rp17 ribu.
Pelemahan itu bisa terjadi andai aliran modal asing atau capital outflow terus tak terbendung.
"Memang, sepekan terakhir data-data ekonomi (Amerika Serikat) yang lebih lemah memberikan sedikit harapan pada rupiah," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (19/6).
Lukman menyebut pelemahan rupiah belakangan ini banyak dipicu kondisi ekonomi dunia yang banyak diwarnai ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut makin menjadi tatkala The Fed juga maju mundur dalam mengubah arah kebijakan suku bunga acuan mereka.
Ketidakpastian itulah yang membuat pasar berhati-hati dalam mengambil keputusan. Kehati-hatian membuat mereka menghindari aset berisiko, seperti rupiah dan melarikan investasi ke aset aman.
Meski terus melemah, ia beranggapan BI tak boleh gegabah dalam menyikapi masalah itu. Ia mengatakan saat ini intervensi Bank Indonesia (BI) dalam menjaga kekuatan rupiah dengan mengerek suku bunga acuan sudah cukup memadai.
Kendati, jika keadaan memburuk dengan data-data ekonomi AS yang kembali bagus, BI dirasa perlu untuk mengerek suku bunga.
Sedangkan Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menyebut selain ketidakpastian global, ada sentimen negatif dari pemerintah anyar 2024-2029, yakni Prabowo Subianto di balik pelemahan rupiah belakangan ini.
Ia melihat investor asing ramai-ramai menjual rupiah imbas kekhawatiran pasar rasio utang pemerintah Indonesia bisa meroket hingga 50 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) di era Prabowo nanti.
"Investor global memilih untuk pergi dahulu dari emerging market, seperti Indonesia. Walaupun kami melihat kondisi tersebut masih relatif sementara di tengah kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang masih solid," ucapnya.
"Apalagi, kami belum melihat kejelasan pernyataan resmi dari pihak presiden mendatang (Prabowo) mengenai kebijakan fiskal agresif yang akan mereka lakukan demi membiayai program populis pada kampanye pemilu lalu," imbuh Myrdal.
Ia mengatakan juga ada sentimen dari asing. Myrdal menyinggung kebijakan moneter The Fed yang masih enggan menurunkan suku bunga secara agresif pada tahun ini.
Di lain sisi, Myrdal mengatakan obligasi Pemerintah Amerika Serikat sejatinya kurang menarik, di saat investor asing ramai-ramai kabur dari tanah air. Ia menekankan imbal hasil obligasi AS tengah dalam tren menurun.
Myrdal merasa sebenarnya langkah BI sudah cukup optimal meredam pelemahan rupiah. Ia mencontohkan bagaimana bank sentral tersebut menaikkan suka bunga moneter sebesar 25 basis point (bps).
Selain itu, BI juga melakukan intervensi dan pendalaman di pasar keuangan. Myrdal menyebut ini ditempuh dengan merilis Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia, dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) demi menarik masuk investor global.
"Langkah BI untuk menarik masuk dana Devisa Hasil Ekspor (DHE) komoditas juga kelihatannya sudah optimal," menurut Myrdal.
Meski begitu, ia mewanti-wanti dampak anjloknya rupiah terhadap inflasi. Inflasi ini bisa saja diredam, asalkan ketersediaan bahan pangan maupun stok bahan bakar minyak bersubsidi dengan harga stabil tetap terjaga hingga akhir tahun.
Inflasi diharapkan tetap terjaga di bawah 3 persen pada akhir 2024. Myrdal berharap BI tidak terburu-buru merespons gejolak pelemahan rupiah dengan langsung menaikkan suku bunga, demi menjaga iklim bisnis maupun ekonomi di sektor riil tetap kondusif.