Sementara itu, Researcher Center of Economic and Law Studies (Celios) Jaya Darmawan membedah biang keladi perekonomian di daerah kaya tambang sulit maju karena tak didukung ekosistem ekonomi yang baik.
Jaya menyebut daerah dekat tambang lebih sedikit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga badan usaha milik desa (BUMDes) yang berdaya. Ada juga sejumlah potensi konflik yang menganggu kegiatan ekonomi masyarakat.
"Belum lagi dengan aspek fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, dan degradasi lingkungan jika dibanding desa yang tidak mengandalkan tambang sebagai sektor utama, lebih buruk atau lebih sedikit. Ini pasti sangat berpengaruh pada tingkat kemiskinan," jelas Jaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyarankan tiga solusi kepada pemerintah. Pertama, Jaya tak masalah jika negara ingin memulai membereskan anomali tersebut dari membasmi tambang ilegal.
Jaya menegaskan penerapan aturan harus dibarengi penegakan hukum yang kuat. Selain itu, pemerintah tetap perlu memperhatikan aspek sosial dan lingkungan dalam menyelesaikan masalah tambang, misal Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) dan IETI Standar.
"Kedua, terkait kegiatan ekonomi boleh saja ada aturan perlu menyerap tenaga lokal setempat. Namun, perlu dilihat dulu pekerjaan masyarakat sebelumnya apa, karena tidak mudah shifting pekerjaan yang sudah puluhan tahun bahkan ratusan tahun digeluti," ucapnya.
"Jadi, penyerapan kerja perlu diupayakan dengan peningkatan keterampilan dan pelatihan kerja. Upaya diversifikasi ekonomi ke bidang lain, seperti pariwisata dan pertanian yang maju bisa ditempuh untuk mengurangi ketergantungan pada sektor tambang," sambung Jaya.
Ketiga, Jaya mengapresiasi pendekatan fiskal yang dilakukan negara melalui dana bagi hasil. Akan tetapi, menurutnya pemerintah jangan cuma berpikir menambah alokasi DBH untuk mengentaskan kemiskinan.
Ia menyebut perlu ada realokasi DBH untuk kegiatan pengentasan kemiskinan dan merestorasi lingkungan. Menurutnya, duit tersebut selama ini lebih sering dipakai untuk pembangunan infrastruktur.
"Menempuh pajak produksi sektor ekstraktif dan pajak windfall profit tax untuk dialokasi dalam program kemiskinan dan ekonomi lokal juga bisa ditempuh," sarannya.
Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna menilai sengkarut masalah tambang ini juga perlu diselesaikan dengan pemerintah yang transparan. Ia menuntut bagaimana pendapatan dari mengeruk sumber daya alam itu bisa dijelaskan betul manfaatnya bagi warga sekitar.
"Berbagai peraturan untuk alokasi dana daerah penambangan sudah ada, namun perlu diperjelas penggunaannya," tuntut Putra.
Ia mencontohkan salah satu tolok ukur dari transparansi negara adalah fasilitas pendidikan dan kesehatan di daerah kaya tambang tersebut. Putra mempertanyakan apakah sudah ada fasilitas dasar gratis yang memadai bagi provinsi tambang raksasa, seperti Kalimantan Timur dan Sumatra Selatan.
Putra juga menegaskan urgensi penyerapan tenaga kerja lokal yang lebih banyak. Walau, ia paham realitas di lapangan umumnya tersandung kompetensi masyarakat sekitar.
"Hal ini memerlukan komitmen jangka panjang dari penambang untuk tidak terlalu bergantung dari tenaga kerja pendatang," kata Putra.
"Imbas tambang bagi lingkungan sekitar juga perlu diperbaiki karena kerap berimbas pada kerusakan yang juga menyulitkan perekonomian dan kualitas hidup masyarakat setempat," tandasnya.