Ronny mengatakan jika pemerintah ingin mengembangkan moda transportasi massal sejenis, termasuk melanjutkan kereta cepat hingga Surabaya, ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan. Pertama, proyek harus didahului dengan studi kelayakan yang komprehensif.
Kedua, proses transfer teknologi ke Indonesia harus jelas alias tidak sekadar mengimpor produk jadi berupa kereta cepat dan teknologinya. Ketiga, negosiasi pembiayaannya harus jelas, tidak berubah-berubah terlalu berlebihan yang akhirnya memaksa pemerintah untuk mengintervensi secara fiskal.
Keempat, perlu diversifikasi sumber teknologi baru sehingga tidak hanya bergantung pada satu negara, misalnya China.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ronny mengatakan proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya jauh lebih feasible ketimbang proyek Jakarta-Bandung, karena jaraknya sesuai untuk teknologi kereta cepat dibandingkan Jakarta-Bandung. Namun untuk penggarapannya, perlu dilakukan penawaran terbuka ke negara-negara yang memiliki teknologi kereta cepat selain China, antara lain Perancis, Kanada, dan Jepang.
Ronny mengatakan bunga yang ditawarkan Jepang cukup kompetitif dibanding China, biaya cenderung tidak berubah-ubah, teknologi pun lebih teruji. Baik dari sisi keamanan maupun dari sisi komersial, operasi kereta cepat di Jepang memang menguntungkan.
"Dari sisi track record Jepang memang lebih teruji. Toh pada awalnya teknologi kereta cepat China sebagian besar dari Jepang awalnya, selain dari Kanada dan Perancis. Dari segi pembiayaan juga sama. Jepang lebih masuk akal dan bisa diterima," katanya.
Ronny mengatakan Whoosh terdengar lebih banyak masalah dibandingkan MRT karena dua hal. Pertama, MRT dikaji secara komprehensif dan direncanakan sangat matang. Kedua, kepentingan politik tidak terlalu mendominasi proyek MRT.
Ia mengatakan kepentingan politik tidak terlalu mendominasi proyek MRT karena skalanya provinsi. Sementara kereta cepat digemborkan sebagai proyek nasional dan dijadikan sebagai salah satu proyek yang diinisiasi oleh Jokowi di saat pertama kali menjabat.
"Lebih dari itu, karena kereta cepat sangat dominan peran China, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, sehingga benar-benar menjadi perhatian publik di satu sisi, dan benar-benar dipaksakan diselesaikan sesuai target di sisi lain untuk membuktikan kepada publik bahwa Jokowi berhasil," katanya.
Ekonom CELIOS Nailul Huda mengatakan belajar dari semrawutnya proyek Whoosh, pemerintah harus mempertimbangkan berbagai aspek mulai dari ekonomi-sosial hingga operasional perusahaan.
Dari aspek ekonomi-sosial, pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan efek berganda dari proyek tersebut, seperti jarak tempuh jadi lebih cepat sehingga perputaran ekonomi jauh lebih cepat.
Dari aspek operasional bisnis, pembangunan proyek tidak boleh memberatkan perusahaan dalam jangka pendek-menengah, sehingga operasional perusahaan bisa berjalan dengan normal. Ia mengatakan Whoosh mengalami masalah dalam aspek operasional. Hal itu tampak dari kerugian yang dialami WIKA.
"WIKA selain pemegang saham (PSBI), juga merupakan perusahaan kontraktor pembangunan. Maka seharusnya WIKA dibayar oleh konsorsium atas jasa pembangunan konstruksinya. Yang lebih parahnya adalah pembayaran konstruksi KCIC yang belum terselesaikan membuat pembayaran WIKA ke subkontraktor jadi terlambat. Bahkan ada yang tahunan belum dibayar oleh WIKA. Efeknya jadi ke mana-mana," katanya.
Karena itu, Nailul menilai model kerja sama konsorsium seperti yang menggarap kereta cepat perlu dievaluasi kembali, terlebih terjadi pembengkakan utang. Ini menunjukkan perencanaan kurang matang.
Terkait rencana pemerintah dalam membangun kereta cepat Jakarta-Surabaya, ia mengatakan lebih baik menunjuk negara yang sudah lebih mempersiapkan mitigasi daripada terjadi perubahan rencana anggaran ke depannya.
Dibandingkan dengan MRT, ia menilai Whoosh lebih menjadi sorotan karena awalnya berjanji tidak menggunakan APBN tetapi yang terjadi kebalikannya. Kemudian penunjukkan China ketimbang Jepang yang juga mengajukan proposal juga jadi sorotan.
Sementara biaya MRT katanya memang menggunakan APBN dan APBD tetapi sudah dijelaskan sejak awal pembangunan.
"KCIC jelas awalnya tidak ada dana APBN, eh malah pakai. Itu jadi isu sendiri akhirnya. Proposal Jepang untuk kereta cepat juga butuh jaminan APBN juga, tapi dipilih China karena janji enggak pakai APBN," katanya.
(pta)