Ekonom senior Chatib Basri kerap mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan kepentingan kelas menengah.
Menurut mantan menteri keuangan (2013-2014) ini, apabila pemerintah luput memperhatikan kepentingan kelas menengah bisa membawa dampak negatif untuk ekonomi negara.
Ia pun menyinggung soal fenomena Chilean Paradox yakni situasi yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi yang tinggi Chili tidak dibarengi dengan perhatian terhadap kepentingan kelas menengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alhasil, kerusuhan yang hampir berujung revolusi pecah di negara itu pada Oktober 2019 lalu. Sebanyak 23 orang dilaporkan tewas dalam unjuk rasa berujung rusuh itu.
"Saya kira ini isu yang sangat besar, September (2023) lalu saya satu session dengan mantan presiden Chili, Michelle Bachelet. Ia bercerita mengenai yang dia sebut Chilean Paradox. Saya yakin ini gak akan terjadi di Indonesia segera, tapi kita harus hati-hati," kata Chatib dalam acara Seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia, 22 Desember 2023 lalu.
Ia menuturkan Chili adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Negara itu juga berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari 53 persen menjadi 6 persen.
Namun, di saat bersamaan, kebijakan ekonomi pemerintah Chili yang dipimpin Presiden Sebastián Piñera, lebih banyak fokus pada 10 persen masyarakat miskin.
Chatib menyebut pemerintah Chili saat itu tak membuat masyarakat kelas menengah puas. Padahal, yang dibutuhkan kelas menengah bukan cuma kebijakan ekonomi, tapi juga fasilitas publik yang baik dan pemerintahan yang bisa dipercaya.
"Mereka (kelas menengah) butuh kualitas pendidikan yang lebih baik, profesional public yang lebih baik,sarana transportasi yang lebih baik. Ini yang kemudian akan menjadi isu politik ekonomi ke depan," ujarnya
Berdasarkan jurnal berjudul "The Fall of Chile" yang diterbitkan CATO Jurnal (2020), antara 2009-2015, orang-orang yang percaya bahwa demokrasi Chili berjalan dengan baik atau sangat baik anjlok dari 26 persen menjadi 10 persen. Sementara, mereka yang percaya bahwa demokrasi berjalan dengan buruk meningkat dari 16 persen menjadi 32 persen.
Dari 2012 hingga 2018, indeks persepsi korupsi negara Amerika Selatan itu juga turun setiap tahun. Selain itu, yang lebih meresahkan lagi, laporan OECD pada 2017 tentang tingkat kepercayaan penduduk Chili terhadap sistem peradilannya.
Chili mendapat skor terakhir di antara semua negara yang disurvei OECD. Survei yang lebih umum pada 2019 menunjukkan bahwa 58 persen warga Chili percaya bahwa lembaga negara korup.
Dalam sebuah studi Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada 2017, 34 persen warga Chili yang disurvei menyatakan telah diperlakukan buruk oleh pegawai negeri sipil (PNS). Survei ini menunjukkan masyarakat Chili terutama kelas menengah tidak puas dengan pemerintah.
Kerusuhan pada 2019 pun pecah usai kenaikan tarif transportasi umum khusus pada jam sibuk sebesarUS$1,17 (sekitar Rp16 ribu). Padahal pada Januari lalu ongkos transportasi umum setempat juga sudah dinaikkan.
Pemerintah beralasan mengambil kebijakan itu karena kenaikan harga bahan bakar minyak dan nilai tukar Peso yang melemah.
Masyarakat Chile juga mengkritik pemerintah karena lambatnya pertumbuhan ekonomi, dan mendesak untuk mengubah undang-undang tenaga kerja, perpajakan, serta jaminan pensiun.
Dalam demonstrasi yang terjadi sejak 18 Oktober 2019 itu, warga Chili juga menentang kesenjangan sosial dan ekonomi juga lahan politik yang dikuasai keluarga terkaya di sana.
Setelah krisis sosial meletus, Presiden Sebastián Piñera menyampaikan pidato dan meminta maaf kepada rakyat Chili atas ketidakadilan sistem ekonomi negara tersebut. Ia juga mengumumkan bakal peningkatan pengeluaran pemerintah.
Piñera lantas meluncurkan program untuk memperluas manfaat sosial bagi kelas menengah yang disebut Clase Media Protegida (Kelas Menengah yang Dilindungi). Program tersebut mencerminkan filosofi demokrasi sosial yang mengesahkan gagasan bahwa peran pemerintah adalah untuk menjaga kesejahteraan penduduk.