Kecurigaan Misbah itu tampaknya memang terbukti. Lihat saja, dalam dokumen Nota Keuangan Rancangan APBN (RAPBN) 2025, pemerintahan Prabowo akan menarik utang baru sebesar Rp775,9 triliun. Jumlah itu melesat dari outlook pembiayaan utang 2024 sebesar Rp553,1 triliun.
"Dalam RAPBN tahun anggaran 2025, pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp775.867,5 miliar yang akan dipenuhi melalui penarikan pinjaman dan penerbitan SBN," bunyi dokumen Nota Keuangan RAPBN 2025.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan kalau mengukur dalam 10 tahun terakhir, proporsi belanja bunga utang terhadap total belanja pemerintah pusat memang meningkat signifikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Disaat yang bersamaan, pos belanja yang sifatnya lebih produktif seperti belanja modal secara proporsi peningkatannya relatif kecil. Menurutnya, hal ini tidak baik.
Lihat Juga : |
"Untuk tahun depan kami melihatnya masih sama. Artinya dengan tambahan belanja beban bunga utang, tentu pemerintahan terpilih masih harus menjaga agar ruang fiskal masih sesuai dengan target terutama defisit anggaran yang ditetapkan 2,52 persen," kata Yusuf.
Karenanya, keleluasaan Prabowo dalam menetapkan tambahan anggaran terutama di periode berjalan APBN 2025 tidak akan terlalu luwes. Pasalnya, penambahan anggaran masih akan bersaing dengan kebutuhan untuk membayar jatuh tempo utang dan juga program lain.
Dalam situasi ini, Yusuf berpendapat pemerintahan Prabowo akan mengambil opsi realokasi anggaran. Sebab, penambahan defisit anggaran akan berkorelasi terhadap penambahan utang.
"Dan saya kira secara politik ini masih akan tidak cukup populer dan tentu akan ada konsekuensi dalam jangka menengah hingga panjang," imbuh Yusuf.
Adapun konsekuensi yang ia maksud seperti potensi tidak tercapainya target dari kementerian dan lembaga yang terkena dampak relokasi anggaran tersebut.
Yusuf mengatakan ada peluang pemerintah daerah ataupun kementerian/lembaga di level pusat melakukan penyesuaian belanja.
"Saya kira penyusunan belanja ini bisa saja mempengaruhi total realisasi dari kementerian/lembaga tersebut atau pemerintah daerah," katanya.
Di sisi lain, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menuturkan nilai cicilan pokok dan biaya bunga yang harus ditanggung di 2025 mencapai Rp1.335 triliun, merupakan rekor bagi Indonesia.
Wijayanto mengatakan dengan target pendapatan sekitar Rp2.996 triliun, maka rasio cicilan pokok plus bunga dan pendapatan negara (DSR) mencapai 44,6 persen. Bahkan, kata dia, DSR 2026 berpotensi melampaui 50 persen, ini jauh di atas batas aman 25 persen hingga 30 persen.
"Risiko DSR yang tinggi tersebut adalah tingkat suku bunga harus dinaikkan supaya SUN (Surat Utang Negara) kita terserap pasar," kata dia.
Ia memaparkan RAPBN 2025 memproyeksikan suku bunga SUN 10 tahun mencapai hingga 7,2 persen. Tetapi, jika melihat trend, maka target suku bunga tersebut akan terlampaui.
Bandingkan dengan Malaysia, di mana bunga surat utang negara 10 tahun hanya 3,79 persen, ini karena DSR Malaysia hanya 16 persen saja. Di level itu pun mereka sudah mulai sangat berhati-hati menerbitkan utang.
Negara lain seperti Thailand, Filipina dan Vietnam, mempunyai Tingkat bunga Surat Utang Pemerintah 10 tahun yang juga lebih rendah dari Indonesia, yaitu 2,59 persen, 6,06 persen, dan 2,77 persen. Padahal, tingkat inflasi RI lebih rendah atau setara dengan mereka.
"Gap bunga yang lebar antara surat utang Indonesia, dengan negara tetangga tersebut, selain disebabkan oleh DSR yang tinggi dan strategi penerbitan utang yang lemah, juga dikarenakan adanya begitu banyak beban tersembunyi pemerintah," jelas Wijayanto.
Beban itu seperti penundaan komitmen pemerintah ke PLN dan Pertamina, potensi pembayaran restitusi yang menggelembung di 2025, utang BUMN yang berpotensi bermasalah di 2025, dan berbagai penjaminan oleh pemerintah yang berpotensi meledak di tahun-tahun mendatang.