Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna menekankan pembatasan BBM tergantung dengan keseriusan pemerintah, entah itu melalui aplikasi MyPertamina, skema kartu, hingga pembatasan jenis kendaraan.
Akan tetapi, Putra menegaskan rencana ini bukan saatnya dieksekusi Jokowi. Ia menyebut lebih baik itu diputuskan oleh Presiden Terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto.
"Karena pembatasan dalam bulan-bulan terakhir pemerintahan akan berakibat kegaduhan dalam masa peralihan," prediksi Putra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putra menilai pembatasan lebih tepat dilakukan di tahun pertama Prabowo. Sebelum pembatasan BBM diputuskan, rakyat juga dipastikan menuntut keadilan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta pengetatan proyek-proyek non-prioritas, seperti IKN Nusantara.
Walau, ia menegaskan sang presiden terpilih pasti butuh waktu untuk merasionalisasi anggaran sebelum mengambil keputusan berani terkait kebijakan subsidi BBM.
"Pemerintah sudah waktunya melakukan penyesuaian harga BBM secara berkala agar imbasnya tidak mengagetkan rakyat," saran Putra.
"(Untuk sekarang) pembatasan saja dulu dan lakukan dengan konsisten sembari menaikkan secara bertahap. Peralihan kendaraan BBM ke listrik juga bisa membantu menahan pertumbuhan permintaan BBM," imbuhnya.
Ia menegaskan kenaikan harga BBM sudah tak terhindarkan. Terlebih, lifting minyak terus turun dan kondisi nilai tukar rupiah tak stabil.
Di lain sisi, Putra punya pesan khusus untuk PT Pertamina (Persero).
"BUMN, seperti Pertamina, tidak perlu terlalu menggembar-gemborkan untung puluhan triliun setiap tahunnya kalau itu sebenarnya dari hasil menjual BBM ke rakyat. Sementara, produksi (minyak) tak kunjung naik," kritik Putra.
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono mengkritik sikap pemerintah selama ini yang tak berupaya mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi. Padahal, kenaikan harga minyak dunia yang diiringi pertumbuhan konsumsi pertalite sudah diperkirakan sejak lama.
Kenaikan harga pertamax juga memunculkan migrasi sebagian pengguna. Namun, pemerintah dinilainya tak melakukan strategi apapun untuk membatasi konsumsi pertalite.
"Peluang kebijakan membatasi pertalite hanya untuk kelompok miskin sebenarnya terbuka, pilihannya banyak. Namun, pilihan yang sering mengemuka justru pembatasan pertalite dengan cara yang menyulitkan kelompok miskin, seperti pembelian BBM bersubsidi melalui aplikasi MyPertamina sehingga banyak ditentang publik," kritik Yusuf.
"Alternatif cara pembatasan pertalite yang pro-kelompok miskin tersedia, namun tak pernah dilakukan serius. Misal, pembatasan yang paling mudah adalah dengan menetapkan pertalite hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum," sarannya.
Akibatnya, konsumsi pertalite tidak terkendali. Pemerintah pun berdalih bahwa tak ada pilihan lain selain menaikkan harga BBM.
Yusuf mengatakan kebijakan mengerek harga BBM di awal pemerintahan baru acapkali dilakukan. Sebut saja ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukannya di 2005 dan Presiden Jokowi pada 2015.
Namun, kedua peristiwa tersebut terjadi saat kondisi perekonomian relatif sedang baik. Sedangkan saat ini yang terjadi adalah sebaliknya.
"Kondisi saat ini relatif berbeda, di mana masyarakat kelas bawah dan menengah sedang banyak mengalami tekanan ekonomi. Mulai dari kenaikan harga pangan, banyaknya pajak dan pungutan wajib, hingga maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK)," tuturnya.
"Jadi, menurut saya menaikkan harga BBM adalah pilihan kebijakan berisiko tinggi saat ini. Meski inflasi terjaga, namun kenaikan harga pangan cukup signifikan. Meski atas nama subsidi yang membengkak, kenaikan harga BBM dipastikan akan menambah tekanan ke harga kebutuhan pokok, terutama pangan," wanti-wanti Yusuf.
(pta)