Faisal sempat hadir sebagai ahli dari tim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada April lalu. Dalam sidang, ia mengatakan mengatakan bahwa bantuan sosial (bansos) itu merupakan kewajiban negara, bukan bentuk dari belas kasihan atau murah hati.
Pernyataan tersebut untuk menjawab pertanyaan Otto Hasibuan, pengacara dari Tim Kuasa Hukum Prabowo-Gibran yang mempertanyakan apakah ada yang salah jika pemerintah menyalurkan bansos jelang Pilpres 2024.
"Kalau bansos itu seolah-olah belas kasihan, kemurahhatian, enggak, ini adalah kewajiban negara untuk mengentaskan orang miskin untuk tidak jadi miskin, dan orang yang belum miskin tidak masuk ke jurang kemiskinan. Itulah perlindungan sosial," tegas Faisal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, yang menjadi masalah adalah jenis bansosnya semakin banyak. DPR tentunya menyetujui usulan untuk pengadaan bansos. Namun ketika di tengah jalan para menteri menyebutkan bansos berasal dari Jokowi pribadi, DPR tentu tidak akan menyetujuinya.
"Tapi varian bansosnya semakin banyak. Disetujui DPR? Tentu. Tapi tambah di tengah jalan, tidak disetujui DPR. Pelaksanaannya dilaksanakan oleh para menteri, dengan kamuflase ini dari Pak Jokowi, enggak disepakati oleh DPR. Impor (beras) disuruh 3 juta? Tidak persetujuan DPR." pungkasnya.
Ia pun menyebut bansos yang dibagikan rezim Jokowi merupakan bentuk politik gentong babi atau pork barrel jelang Pilpres 2024. Kiasan ini merujuk pada pengeluaran pejabat atau politisi untuk daerah pemilihannya sebagai imbalan atas dukungan politik, baik dalam bentuk kampanye atau suara pada pemilu.
"Secara umum pork barrel di negara berkembang wujudnya berbeda dari negara maju karena pendapatan masyarakat yang masih rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Di negara berkembang seperti Indonesia implementasi pork barrel biasanya berwujud bansos atau sejenisnya," kata Faisal.
Faisal menilai konsep hilirisasi ala Jokowi ugal-ugalan. Melalui blog pribadinya, Faisal menilai angka-angka terkait kenaikan nilai tambah ekspor dari Rp17 triliun ke Rp510 triliun berkat hilirisasi nikel yang disampaikan Jokowi tidak jelas sumbernya.
"Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," ujar Faisal dalam unggahan blog itu.
Faisal mengakui hilirisasi membuat nilai tambah produk ekspor melonjak, tetapi tak sebesar klaim Jokowi.
"Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis," ujarnya.
Kendati demikian, menurut Faisal, uang hasil ekspor itu tidak benar-benar mengalir ke Indonesia. Pasalnya, hampir seluruh perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki China, sementara Indonesia menganut rezim devisa bebas. Artinya, perusahaan China berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Selain itu, ekspor olahan bijih nikel bebas pajak dan pungutan lainnya. Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan bea keluar dan pungutan ekspor.
"Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," terangnya.
Tak hanya itu, sambung Faisal, perusahaan nikel China di Indonesia juga tidak membayar royalti. Pasalnya, yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.
"Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," sambungnya.
Karena itu, ia menilai hilirisasi nikel jauh lebih menguntungkan bagi China. Berdasarkan perhitungan Faisal, nilai tambah smelter nikel sebagian besar dinikmati perusahaan China. Indonesia hanya menikmati 10 persen.
Hal itu bukan tanpa alasan. Pertama, hampir seluruh smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air. Kedua, hampir seratus persen modal berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China.
Masalah utang era Jokowi kerap disoroti faisal. Menurutnya, utang yang membengkak tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di level 5 persen.
"Kok utang tambah banyak tapi pertumbuhan ekonomi turun. Era SBY (pertumbuhan ekonomi) 6 persen, era Jokowi 5 persen. Di era Jokowi 5 (persen) terus, katanya berutang itu untuk mempercepat pembangunan," katanya dalam diskusi Reviu RAPBN 2025: Utang Ngegas di Jakarta, Rabu (21/8).
Menurut Faisal, kondisi itu terjadi lantaran proses utang yang tidak benar, tercermin dari tingginya nilai Incremental Capital Output Ratio atau ICOR saat ini. Indikator ini dipakai untuk mengukur tinggi atau rendahnya biaya investasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin besar nilainya, maka semakin tak efisien investasi di suatu negara.
Ia mengatakan sejak era Soeharto hingga SBY, ICOR Indonesia berada di level 4 hingga 4,6. Sedangkan di era Jokowi periode pertama mencapai 6,5 dan pada periode kedua di level 7.
"Jadi contohnya untuk membangun 1 kilometer jalan dibutuhkan 50 persen tambahan modal lebih banyak di era Jokowi periode satu, dan lebih tinggi lagi di era Jokowi dua. Jadi selama era Jokowi ekonomi Indonesia melemah kualitasnya," katanya.
Ia pun membandingkan dengan era Orde Baru di mana utang membengkak tetapi pertumbuhan ekonomi juga ikut terkerek. Hal itu katanya karena Presiden Soeharto saat itu mewajibkan seluruh utang digunakan untuk pembangunan.
"Seluruh utang di zaman Orde Baru wajib untuk pembangunan, enggak boleh buat bayar gaji. Oleh karena itu, utang itu namanya penerimaan pembangunan," katanya.
Sementara itu, Jokowi akan mewariskan utang lebih dari Rp8.000 triliun kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam buku APBN KiTa mencatat, per semester I 2024 saja, utang pemerintah sudah mencapai Rp8.444,87 triliun. Jumlah itu setara 39,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
(fby/pta)