Oleh karenanya, Nailul menyarankan pemerintah menggenjot pembangkit listrik EBT lainnya dalam proses transisi energi ke lebih hijau. Misalnya, dengan pembangkit listrik Tenaga Surya (PLTS).
"Yang harus dilakukan bukan mempercepat capaian target PLT Geothermal. Namun membuat bauran PLT EBT yang lebih ramah lingkungan dengan besaran investasi yang sama, misalkan Pembangkit Tenaga Surya," kata Nailul.
Sementara, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjajaran Yayan Satyakti mengatakan ada dua permasalahan yang membuat pembangunan PLTP lambat, masalah tanah (land issues) dan keekonomiannya (economic viable issues).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, terkait masalah tanah, dalam pengembangan geothermal bisa menyebabkan konflik dengan penguasaan lahan seperti kawasan panas bumi berada pada zona konservasi seperti di kawasan hutan lindung.
"Kebijakan ini harus dengan hati2 dengan konservasi hutan. Selain konflik di daerah seperti PBB yang akan meningkatkan biaya, karena definisi pengembangan sama dengan definisi bangunan sehingga tarif pajaknya akan naik secara signifikan," jelasnya.
Kedua, dari sisi keekonomiannya, eksplorasi PLTP yang dilakukan melalui proses injeksi sumur membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit dengan tingkat keberhasilan yang cenderung rendah. Biaya yang tinggi dan tingkat keberhasilan yang kecil inilah membuat investor tidak tertarik untuk mengembangkan EBT dari panas bumi.
"Eksplorasi injeksi sumur geothermal relatif mahal dan pembiayaan ini tidak seperti pada kasus migas. Cost recovery geothermal ini tidak semenarik migas, karena tarif uap panas bumi ini, financial viablenya lebih panjang dan lebih murah dibandingkan dengan migas. Andaikan ada, skala proyeknya harus besar," kata Yayan.
Oleh sebab itu, untuk mempercepat pembangunan PLTP, Yayan menyarankan pemerintah memberikan dorongan dan solusi di masalah lahan. Sebab, mengembangkan geothermal menjadi solusi pengembangan EBT karena bisa digunakan dalam jangka panjang yakni 50 tahun-80 tahun.
Selain itu, juga lebih aman dibandingkan pembangkit EBT lainnya seperti tenaga nuklir.
"Relatif lebih aman dibandingkan nuklir dan bisa kompetitif harga listriknya, dalam jangka panjang," jelas Yayan.
![]() INSERTGRAFIS Perkembangan Bauran Energi Baru Terbarukan 2019-2024 |
Di sisi lain, Yayan mengungkapkan untuk mencapai transisi energi lebih hijau sesuai target pemerintah memang makin berat. Apalagi target bauran EBT selalu tak pernah tercapai, setidaknya dalam lima tahun terakhir.
Misalnya, pada 2023 pemerintah menargetkan bauran EBT mencapai 17,9 persen terhadap energi nasional. Namun, hanya terealisasi 13,3 persen. Begitu juga pada 2022 yang ditargetkan 15,7 persen baurannya, tapi realisasinya hanya 11,9 persen.
Hal ini dikarenakan PLTU masih mendominasi pembangkit di Tanah Air dan biaya untuk beralih ke energi hijau makin mahal.
"Agar menjadi reasonable transisi phasing out of coal, ini harus menjadi prioritas dan co-firing biomass menjadi solusi satu-satunya untuk secara perlahan mengganti feedstock batu bara," pungkas Yayan.
(pta)