ANALISIS

Hati-hati, Gejala Doom Spending yang Miskinkan Gen Z Mulai Jangkiti RI

Mochammad Ryan Hidayatullah | CNN Indonesia
Kamis, 26 Sep 2024 07:38 WIB
Pengamat menyebut fenomena doom spending sejatinya sudah menjangkiti gen z dan milenial Indonesia imbas budaya pamer, perkembangan e-commerce dan pinjol. (AFP/TANG CHHIN SOTHY).
Jakarta, CNN Indonesia --

Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa ini seolah menggambarkan nasib generasi Z dan milenial.

Bagaimana tidak, 9,89 juta generasi mereka masih kesusahan mencari kerja. Di tengah kondisi itu, kini gen Z dan milenial malah diperkirakan menjadi lebih miskin dibandingkan generasi sebelumnya.

Ancaman itu muncul akibat tren atau fenomena 'doom spending' alias pengeluaran yang tak terkendali.

Menurut laporan Psychology Today, doom spending terjadi ketika seseorang melakukan belanja tanpa berpikir panjang. Biasanya fenomena ini dilakukan sebagai pelarian dari stres atau kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi dan masa depan.

Sederhananya, doom spending adalah aktivitas membelanjakan uang untuk menghilangkan stres di tengah kekhawatiran atas kondisi ekonomi yang tidak pasti dan kondisi hubungan internasional yang tidak stabil.

Keberadaan ponsel pintar yang memudahkan akses informasi tentang krisis ekonomi, perang, hingga isu lingkungan bisa memperburuk fenomena ini. Fitur pembayaran seperti 'Buy Now, Pay Later (BNPL)' turut mendorong perilaku belanja impulsif.

Prediksi gen Z dan milenial bisa lebih miskin dibanding generasi sebelumnya itu pun sejalan dengan Survei Keamanan Finansial Internasional CNBC, yang dilakukan oleh Survey Monkey kepada 4.342 orang dewasa di seluruh dunia.

Hasil survei menunjukkan hanya 36,5 persen orang dewasa merasa bahwa mereka lebih baik secara finansial daripada orang tua mereka. Sementara 42,8 persen sisanya merasa bahwa mereka sebenarnya lebih buruk daripada orang tua mereka.

Tak hanya itu, perilaku doom spending setidaknya juga terlihat dari Survei Intuit Credit Karma terhadap lebih dari 1.000 orang AS pada November 2023. Hasil survei menunjukkan bahwa 96 persen orang AS khawatir tentang keadaan ekonomi saat ini dan lebih dari seperempatnya menghabiskan uang untuk mengatasi stres.

Khusus di Indonesia, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan belum ada kajian yang menyatakan fenomena doom spending masuk.

Meski demikian, kata dia, melihat dari gejala mereka yang melakukan doom spending, maka bukan tidak mungkin fenomena ini juga akan ikut terjadi di Indonesia.

Yusuf mengatakan jika melihat data fenomena doom spending yang dilakukan gen Z dan milenial di AS yang cukup tinggi, cukup relevan dengan kondisi di RI.

Apalagi, Indonesia tengah mengalami bonus demografi di mana mayoritas penduduk adalah usia produktif seperti gen Z dan milenial.

"Di saat yang bersamaan kalau kita melihat kurangnya literasi keuangan juga menjadi faktor lain yang mendorong perilaku doom spending," kata Yusuf kepada CNNINdonesia.com.

Ia menjelaskan saat ini tingkat literasi keuangan di Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara pembanding.

Melihat data, tingkat literasi keuangan Indonesia memang masih terbilang rendah. Berdasarkan hasil survei Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024, Indeks Literasi Keuangan Nasional berada di angka 65,43 persen.

Angka tersebut masih lebih kecil dibanding tingkat literasi keuangan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Tercatat, indeks inklusi keuangan Malaysia mencapai 88,37 persen, Singapura 97,55 persen, dan Thailand 95,58 persen.

Menurut Yusuf, tingkat literasi keuangan yang relatif rendah tentu akan berkorelasi dengan fenomena atau perilaku doom spending.

"Ketika individu merasa was-was terhadap kondisi yang mereka yakini tidak baik dan mempunyai akses untuk mendapatkan pinjaman tertentu akan bermuara terhadap kondisi doom spending," jelas Yusuf.

Di tengah minimnya literasi keuangan, banyak generasi muda mengadopsi pola pikir 'You Only Live Once (YOLO)' dan 'Fear Of Missing Out (FOMO)'. Mereka pun memilih untuk menikmati hidup dengan membelanjakan uang untuk barang-barang mewah.

Gayung bersambut, kehadiran sosial media pun dinilai menjadi pendorong generasi muda untuk FOMO. Ini lah yang menjadi faktor tambahan penstimulus perilaku doom spending.

"Kita juga tahu terkait sosial media, penetrasi internet di Indonesia merupakan salah satu yang tercepat dan ketika tidak ada filter dalam penetrasi ini, ya berpotensi bermuara terhadap perilaku doom spending," kata Yusuf.

Ia menekankan lagi bahwa perilaku doom spending memang bisa muncul ketika kondisi ekonomi tidak stabil dan rasa ketakutan terhadap ekonomi di masa mendatang.

Oleh karena itu, pemerintah juga harus ambil bagian. Pemerintah setidaknya harus terus menjaga perekonomian dalam negeri tetap stabil.

Saat ini meskipun Indonesia masih bisa tetap tumbuh secara rata-rata di angka 5 persen, namun permasalahan seperti pengangguran muda menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

"Hingga saat ini dan saya kira ketika pekerjaan rumah ini masih belum ada solusi konkritnya maka perilaku seperti doom spending gampang untuk terjadi," tutur Yusuf.

Terjerat Budaya Pamer, Perkembangan e-Commerce dan Pinjol


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :