Oleh karena itu, Achmad menekankan pentingnya intervensi dari pemerintah pusat. Ia menekankan negara sebaiknya menetapkan sanksi berat bagi pejabat daerah yang mengangkat honorer secara sembarangan.
Ia menyebut sanksi ini bisa berbentuk administratif, seperti teguran. Achmad juga menyarankan hukuman yang lebih tegas berupa pemotongan insentif atau anggaran daerah yang dikelola pejabat tersebut.
"Jika terjadi pelanggaran serius, mekanisme penegakan hukum atau pelaporan kepada Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bisa diterapkan untuk mencegah praktik titipan honorer yang membebani keuangan negara," tandasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai pemerintah pusat tidak bisa menggeneralisasi fenomena honorer di daerah. Apalagi, sampai melakukan intervensi berlebihan yang tak sesuai.
Ia menegaskan kebutuhan tenaga honorer di setiap daerah berbeda. Faisal juga menekankan tidak bisa negara menghapus tenaga kerja honorer secara total.
"Kalau mau semuanya langsung diatur, itu tidak sejalan dengan semangat desentralisasi. Jadi, pusat itu memang perlu melihat satu per satu, tidak menggeneralisasi. Misal, tidak boleh ada pengangkatan atau sebaliknya, ini bisa jadi salah kaprah karena satu sama lain (daerah) karakteristiknya berbeda," jelas Faisal.
"Tapi memang dari pusat perlu mempertimbangkan, bukan hanya dari melihat besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk honorer. Kalau besar, tapi karena kebutuhannya begitu, ya tidak apa-apa," sambungnya.
Ia menyebut negara seharusnya mengantisipasi peningkatan anggaran pemda untuk gaji honorer yang tidak sesuai produktivitas kerjanya. Apalagi, honorer yang diangkat hanya karena kepentingan politis pejabat daerah.
Di lain sisi, Faisal menyarankan pengangkatan honorer untuk pelayanan dasar di daerah jangan malah dikurangi atau dibatasi. Ia mencontohkan bagaimana sejumlah daerah masih kewalahan untuk melayani sektor pendidikan hingga kesehatan.
"Sekarang banyak pelayanan dasar yang tidak bisa terpenuhi dengan baik di daerah yang justru masih kekurangan tenaga. Karena keterbatasan anggaran juga tidak bisa semuanya di-ASN-kan. Jadi, justru gap antara kemampuan anggaran dengan kebutuhan tenaga pelayanan ini yang dijembatani dengan honorer," tuturnya.
"Apalagi kalau kita lihat sekarang proporsi ASN pusat dan daerah itu lebih banyak di pusat secara agregat. Jadi, kita tidak bisa menyatakan di daerah itu kebanyakan staf (honorer). Ini juga bergantung pada kebutuhan," imbuh Faisal.
(pta)