ANALISIS

Sritex Pailit dan Ramalan Mendiang Faisal Basri soal Kejatuhan Tekstil

Sakti Darma Abhiyoso | CNN Indonesia
Selasa, 29 Okt 2024 07:00 WIB
Vonis pailit Sritex memperjelas kondisi industri tekstil lokal yang didera masalah. Mendiang ekonom Faisal Basri sudah memperkirakan kejatuhan industri ini.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai pemerintah perlu melakukan harmonisasi kebijakan untuk mendukung bangkitanya industri domestik. Ilustrasi. (www.sritex.co.id).

Perlu Harmonisasi Kebijakan Pemerintah

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai kepailitan Sritex menambah daftar panjang masalah yang dihadapi industri padat karya. Terlebih, ini adalah permasalahan yang sudah ada bertahun-tahun lamanya.

"Disebabkan karena tidak harmonisnya kebijakan yang semestinya mendukung industri domestik. Baik kebijakan yang kaitannya dengan akses pasar maupun juga dari sisi biaya produksi," tutur Faisal.

Ia mencontohkan aksi pemerintah yang tidak sinkron. Misalnya, ketika perusahaan ingin memenuhi bahan baku untuk memproduksi orderan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Faisal melihat pemerintah malah menetapkan tarif impor bahan baku yang mahal dibandingkan mendatangkan pakaian jadi dari luar negeri.

Selain itu, Faisal menyoroti tekanan lain yang dihadapi industri padat karya. Ia mencontohkan bagaimana ada desakan untuk menyejahterakan para buruh, termasuk dari sisi upah.

"Akses pasar domestik ini juga banyak ketidaksinkronan yang menyebabkan malah justru menggerus pasar di dalam negeri untuk industri tekstil. Termasuk di antaranya kontrol terhadap impor, baik yang legal maupun ilegal," kritiknya kepada pemerintah.

"Jadi, masalahnya industri tekstil ini bukan hanya harus bersaing dengan produk impor yang legal, tapi juga ilegal. Ini secara kumulatif, apalagi setelah dihantam pandemi jadi makin membuat susah untuk bisa survive," sambung Faisal.

Ia mendesak pemerintah gerak cepat mengatasi masalah ini. Faisal menegaskan masalah yang dihadapi industri padat karya akan berefek ke sejumlah titik, termasuk peningkatan pengangguran dan masalah sosial baru.

Peneliti Next Policy Dwi Raihan menegaskan industri padat karya Indonesia memang semakin terpuruk. Ini terutama terjadi dalam 10 tahun terakhir alias dua periode kepemimpinan Presiden ke-7 Jokowi.

Ia menyebut TPT, industri kulit serta barang dari kulit, dan alas kaki merupakan sektor yang paling terpukul.

Dwi mengatakan industri tekstil dan pakaian jadi masih berkontribusi sekitar 0,29 persen pada 2010 lalu. Sebelum merosot ke 0,25 persen pada 2023.

"Padahal, industri tekstil banyak menciptakan lapangan pekerjaan. Pemerintah terlalu fokus pada hilirisasi khususnya sektor ekstraktif. Padahal, kontribusi manufaktur Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin menurun. Ini juga menunjukkan gejala deindustrialisasi semakin nampak," jelas Dwi.

Ia lalu menyoroti tergerusnya pasar ekspor akibat persaingan global. Di lain sisi, impor tekstil semakin masif, termasuk indikasi barang ilegal dari China membuat industri TPT Indonesia semakin tergerus.

Dwi meyakini masih ada harapan Prabowo dan jajaran memperbaiki keadaan buruk ini. Namun, kementerian terkait perlu bekerja ekstra karena banyak catatan yang perlu diperbaiki.

"Tidak tumpang tindih antar-kementerian, memberantas impor ilegal, dan memperkuat kepabeanan dapat diterapkan untuk menekan arus impor khususnya impor ilegal. Di sisi lain, pemerintah dapat memberikan perlindungan terhadap industri tekstil dalam negeri, memberikan insentif, dan mempermudah ekspor," tandasnya.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti bangkrutnya perusahaan tekstil lain. Tak cuma Sritex, perusahaan di sektor TPT lainnya sudah banyak yang melakukan PHK dan gulung tikar.

Huda menekankan kondisi ini sudah parah. Sedangkan pemerintah tampak kehabisan ide untuk memberikan stimulus kepada industri TPT, padahal sumbangsihnya ke industri nasional cukup besar.

"Porsi industri TPT terhadap PDB mampu mencapai 5,8 persen. Dalam hal penyerapan tenaga kerja pun cukup besar dengan basis pekerja paling banyak di Jawa Tengah. Jumlah pekerja di sektor TPT lebih dari 3,5 juta tenaga kerja," jelas Huda.

"Maka, penting bagi pemerintahan Prabowo untuk bisa menghentikan laju negatif industri tekstil. Aturan yang melonggarkan impor harap ditertibkan untuk memberikan insentif bagi industri TPT lokal. Bea masuk untuk produk TPT harus dievaluasi, jangan sampai menimbulkan gejolak lebih panjang," sambungnya.

Ia menyebut pailitnya Sritex bukan hanya berdampak ke industri tekstil, melainkan ada multiplier ke sektor lain. Huda mengatakan ekonomi daerah sangat terancam dan berpotensi merosot cukup jauh, seperti Sukoharjo serta daerah pusat tekstil lainnya.

Oleh karena itu, ia berpandangan penyelamatan Sritex dan industri tekstil lain menjadi krusial. Upaya ini sangat diharapkan karena sumbangan industri TPT yang besar terhadap ekonomi dan tenaga kerja Indonesia.



(sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER