Mengenang Era Kejayaan Sritex, Pasok Seragam Militer NATO Kini Pailit

CNN Indonesia
Selasa, 29 Okt 2024 12:07 WIB
Raksasa Sritex yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan pernah mengalami masa jaya sebagai pemasok seragam militer negara di bawah NATO.
Raksasa Sritex yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan pernah mengalami masa jaya sebagai pemasok seragam militer negara di bawah NATO. ( ANTARA FOTO/MOHAMMAD AYUDHA).
Jakarta, CNN Indonesia --

Raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang karena gagal memenuhi kewajiban pembayaran kepada kreditur.

Padahal, perusahaan tersebut sempat berjaya hingga menjadi produsen seragam militer untuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan tentara Jerman.

Sebelum putusan ini pun, Sritex sempat tenggelam karena terlilit utang yang menggunung. Hingga Juni 2024, total utang Sritex mencapai US$1,6 miliar atau Rp25,1 triliun (kurs Rp15.735 per dolar AS).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jumlah tersebut didominasi oleh utang-utang yang memiliki bunga seperti utang bank dan obligasi.

Sritex sebenarnya bukan perusahaan kemarin sore. Mereka sudah berdiri lebih dari 50 tahun.

Berdirinya perusahaan tekstil ini tak terlepas dari sosok pendirinya, yaitu Haji Muhammad Lukminto (H.M Lukminto).

Lukminto adalah peranakan Tionghoa yang lahir pada 1 Juni 1946. Ia memulai karir sebagai pedagang dengan berjualan tekstil di Pasar Kelewer, Solo, Jawa Tengah sejak usia 20-an.

Melansir berbagai sumber, Solo sebagai pusat tekstil di Jawa sejak masa kolonial membuat bisnis Lukminto tumbuh subur. Hingga akhirnya pada 1968, dirinya memberanikan diri membangun pabrik tekstil di Sukoharjo yang diberi nama UD Sri Redjeki.

Tak disangka bisnisnya moncer. Dua tahun berselang, Lukminto mulai membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna untuk pasar Solo. Pendirian pabrik inilah yang kemudian menjelma menjadi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex.

Pada 1978, Sritex terdaftar di Kementerian Perdagangan sebagai perseroan terbatas. Lalu pada 1982, Sritex mendirikan pabrik tenun pertamanya.

Sekitar 10 tahun kemudian, Sritex memperluas pabrik dengan empat lini produksi, yakni pemintalan, penenunan, sentuhan akhir dan busana dalam satu lokasi.

Pada 1994, Sritex mulai mengerjakan seragam pesanan pasukan negara-negara di bawah NATO. Sritex berhasil mengantongi sertifikat dari organisasi pakta pertahanan Atlantik Utara itu sehingga pesanan pun mulai berdatangan. Hingga kini, Sritex telah membuat pakaian militer untuk lebih dari 33 negara.

Di tengah krisis moneter 1998, Sritex pun mampu bertahan dan berhasil melipatgandakan pertumbuhannya sampai delapan kali lipat dibanding waktu pertama kali terintegrasi pada 1992.

Sritex terus bertumbuh selama bertahun-tahun hingga secara resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham SRIL. Perusahaan mengumumkan laba perseroan pada 2012 sebesar Rp229 miliar. Capaian itu meningkat sebesar Rp68 miliar dibanding tahun sebelumnya.

Namun, SRIL disuspensi Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 18 Mei 2021. Hal tersebut imbas penundaan pembayaran pokok dan bunga medium term note (MTN) Sritex tahap III 2018 ke-6 (USD-SRIL01X3MF).

Awalnya suspensi diberikan sampai sampai 18 Mei 2023 atau menjadi 24 bulan. Namun, Sritex tak kunjung melakukan kewajibannya. Karenanya, BEI juga telah berulang kali memberikan surat peringatan potensi delisting pada emiten sektor tekstil tersebut.

Ketentuan delisting ditetapkan jika saham perusahaan telah diberhentikan sementara (suspensi) selama 24 bulan dan saham mengalami kondisi yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial atau secara hukum.

Tak hanya itu, Sritex juga sempat dikabarkan bangkrut. Namun perusahaan membantah kabar itu.

Direktur Keuangan Sritex Welly Salam mengatakan penjualan mereka memang menurun tetapi tidak sampai bangkrut.

Ia menjelaskan kondisi geopolitik perang Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina menyebabkan terjadinya gangguan supply chain dan penurunan ekspor karena terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat di Eropa maupun AS.

Selain itu, lesunya industri tekstil terjadi karena banjir produk tekstil di China. Menurutnya, hal itu menyebabkan terjadinya dumping harga, di mana produk-produk berharga lebih murah ini menyebar ke negara-negara yang longgar aturan impornya, dan salah satunya Indonesia.

"Kendati, perusahaan tetap beroperasi dengan menjaga keberlangsungan usaha serta operasional dengan menggunakan kas internal maupun dukungan sponsor," jelasnya.

Namun, perusahaan itu kemudian dinyatakan pailit. Keputusan tertulis dalam putusan perkara Pengadilan Negeri (PN) dengan nomor 2/Pdt.Sus- Homologasi/2024/PN Niaga Smg pada Senin (21/10) lalu.

Berdasarkan sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Semarang, pemohon pailit Sritex menyebut termohon telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada pemohon berdasarkan Putusan Homologasi tertanggal 25 Januari 2022.

Tak tinggal diam, Sritex mengajukan kasasi atas putusan pailit tersebut. GM HRD Sritex Group Haryo Ngadiyono menyebut operasional perusahaan masih berjalan meski ada putusan pailit.

"Hari ini sudah melayangkan kasasi ke Mahkamah Agung," ucapnya di Menara Wijaya Setda Sukoharjo, Jumat (25/10) dikutip Detik Jateng.

[Gambas:Video CNN]



(del/agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER