ANALISIS

Benarkah Permendag 8/2024 Bunuh Sritex Cs?

Feby Febrina Nadeak | CNN Indonesia
Rabu, 30 Okt 2024 07:05 WIB
Industri tekstil dalam negeri sedang sakit. Hal itu semakin jelas terlihat saat raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit.
Industri tekstil dalam negeri sedang sakit. Hal itu semakin jelas terlihat saat raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit. Ilustrasi. (CNN Indonesia/ Adi Maulana Ibrahim).

Menurut Andry, barang impor boleh saja masuk ke dalam negeri tetapi tetap harus dibatasi. Terlebih, industri tekstil cukup banyak menyerap tenaga kerja.

"Ini cukup kompleks, tidak bisa satu dua kementerian saja yang ikut campur. Semua harus berkolaborasi. Jangan sampai hanya melihat Sritex, harus dilihat juga industri tekstil secara keseluruhan persoalannya di mana ," katanya.

Senada, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan terdapat perubahan dalam persyaratan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) di Permendag 8/2024.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Salah satunya ketentuan kemudahan impor TPT dimana setelah terbitnya aturan tersebut, importasi TPT dari Tiongkok melonjak tajam. Yang menyebabkan permintaan produk dalam negeri menurun tajam," katanya.

Jika kita tarik lebih jauh, sambungnya, Permendag 8/2024 diterbitkan untuk mengatasi tumpukan kontainer di pelabuhan. Ia mencurigai ini ada hubungannya dengan kondisi oversupply di China sehingga barang dikirim ke negara lain, termasuk Indonesia.

Jika syarat yang diatur dalam Permendag 36/2023 susah dipenuhi, sambungnya, harusnya importir tidak perlu memesan barangnya karena akan sulit masuk sehingga tidak akan ada tumpukan di kontainer.

"Tapi ini sengaja tertumpuk di pelabuhan yang artinya importir sudah tau akan ada perubahan Permendag 36/2023 ke Permendag 8/2024. Jika importirnya tidak tahu akan diubah, mereka tidak akan memesan barang tersebut. Tapi mereka tetap memesan dan seakan akan tahu bahwa barangnya bisa masuk dengan mudah. Atau bisa jadi barang dikirim sebelum ada pembeli, maka terjadi penumpukan, imbuhnya.

Produk Lokal Kalah Saing

Senada, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai relaksasi impor terutama untuk barang-barang berkategori sama dengan yang dihasilkan industri tekstil dalam negeri jelas ikut berperan besar dalam mendisrupsi sektor manufaktur, utamanya tekstil (TPT).

Pasalnya pasar domestik industri tekstil dalam negeri akan berkurang. Padahal di level Internasional, pasar industri tekstil Indonesia juga tergusur sejak lama, karena kalah bersaing dengan produk dari China, Bangladesh, India, Vietnam, dan lainya.

"Permendag ini memang kurang mewakili persoalan yang ada, justru mempercepat proses deindustrialisasi di sektor tekstil dan sektor manufaktur kita. Nampaknya dikeluarkan untuk kepentingan jangka pendek importir semata, yang ingin mendapatkan keuntungan besar dari barang impor murah," katanya.

Sementara bagi pemerintah, sambungnya, Permendag 8/2024 dianggap cukup membantu untuk menekan angka inflasi, karena produk-produk dari impor biasanya memiliki harga yang jauh lebih rendah, Dengan begitu, harga jual barang-barang di dalam negeri turun yang ujungnya membuat inflasi rendah, bahkan deflasi.

"Perpaduan dua kepentingan jangka pendeknya, diakui atau tidak, telah merusak sendi-sendi sektor manufaktur kita, terutama tekstil. Karena dua kepentingan ini, pemerintah abai kepada sektor manufaktur kita selama ini. Dan imbasnya mulai terasa sejak beberapa tahun belakangan, di mana satu per satu perusahaan tekstil gulung tikar dan mem-PHK karyawannya," katanya.

Di lain sisi, Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan Permendag 8/2024 bukan satu-satunya masalah yang dihadapi industri tekstil nasional. Masalah lainnya adalah tingginya biaya produksi, termasuk harga listrik dan bahan baku, menjadi tantangan berat bagi para produsen lokal.

Ia mengatakan di negara-negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh, biaya produksi tekstil jauh lebih rendah. Hal ini memberi keuntungan bagi produk mereka di pasar global. Sementara produk RI sulit bersaing karena harganya yang tidak kompetitif.

Pemerintah, katanya, bisa membantu menurunkan biaya produksi dengan memberikan subsidi energi atau insentif bagi produsen tekstil, sehingga mereka bisa lebih bersaing di pasar.

Selain biaya produksi, industri tekstil dalam negeri katanya juga menghadapi masalah dalam akses ke bahan baku berkualitas. Banyak perusahaan terpaksa mengimpor bahan baku karena kualitas bahan baku lokal sering kali tidak memenuhi standar.

"Untuk mengatasi ini, pemerintah bisa membantu mengembangkan industri bahan baku dalam negeri atau memperkuat kerja sama dengan pemasok lokal agar perusahaan tekstil tidak terlalu bergantung pada impor bahan baku," imbuhnya.



(sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER