Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai subsidi energi diganti ke BLT di satu sisi bisa menghemat impor BBM, sekaligus memangkas signifikan anggaran subsidi BBM. Hal ini akan memaksa masyarakat menggunakan transportasi umum dan mempercepat transisi energi.
Namun, Bhima menyebut fakta bahwa penerima BLT dan pengguna BBM subsidi yang tidak semua berkategori miskin juga perlu diperhatikan. Jika mekanismenya diubah, maka BLT perlu menyasar masyarakat rentan miskin dan aspiring middle class.
"Aspiring middle class atau orang yang sedang menuju kelas menengah mencapai 137,5 juta orang atau hampir 50 persen populasi. BLT kan cuma menyasar ke orang miskin, sementara kelas menengah rentan bisa jatuh miskin akibat penghapusan subsidi BBM karena sebelumnya tidak masuk kategori miskin," tutur Bhima.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia khawatir jika cakupan BLT sebagai kompensasi subsidi BBM terbatas maka akan terjadi pelemahan daya beli yang cukup signifikan. Hal ini akan berujung pada kenaikan inflasi dikarenakan BBM subsidi juga dinikmati pelaku usaha UMKM.
Maka itu, Bhima menyarankan perlu dikaji implikasi ke naiknya beban biaya operasional pelaku UMKM. Jika tidak, konsumsi rumah tangga dikhawatirkan bisa tumbuh di bawah 4 persen secara tahunan tahun depan.
Ia juga mengungkap pemerintah bisa saja mendorong konversi nomor ponsel menjadi rekening bank untuk menanggulangi jika ada masyarakat kelas bawah yang belum memiliki rekening.
"Pengawasan harus berlapis dan aduan penyimpangan BLT dari masyarakat perlu langsung ditindaklanjuti," imbuhnya.
Bhima berkesimpulan jika mekanisme perubahan skema subsidi energi ini belum siap maka bisa berantakan di lapangan. Apalagi, ia melihat pemerintah seolah hanya ingin BLT kompensasi ke orang miskin, padahal yang rentan juga banyak bergantung ke BBM subsidi.