ANALISIS

UMP 2025 Naik 6,5 Persen, Seberapa Nyata Ancaman PHK?

Dela Naufalia Fitriyani | CNN Indonesia
Kamis, 12 Des 2024 07:33 WIB
Kenaikan UMP justru mendorong daya beli yang ujungnya menguntungkan perusahaan. Pemerintah perlu batasi impor, bukan bentuk Satgas PHK.
Satgas PHK Justru Bisa Jadi Landasan PHK. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Menurut Ronny, ancaman PHK untuk saat ini hanya berbentuk narasi. Ia melihat pengusaha kemungkinan akan berpikir juga untuk melakukan PHK ke pekerja dalam jumlah besar, karena pasti akan mempengaruhi terhadap produksinya.

Hal itu tentu menjadi risiko bagi perusahaan. Sebab, jika produksi berkurang, Ronny mengatakan berarti bisnis para pengusaha akan mengecil.

"Dan ini kan harus dipikirkan oleh pengusaha. Sehingga dalam jangka panjang menurut saya narasi yang paling pas bahwa kenaikan UMP yang cukup tinggi menurut pengusaha, walaupun menurut saya itu sangat moderat bahkan rendah, itu akan mempengaruhi pada ujungnya kepada performa perusahaan, karena akan membantu daya beli pekerja," jelasnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maka itu, Ronny menilai seharusnya kenaikan UMP bisa mencapai 7 persen-8 persen untuk mengembalikan daya beli masyarakat, menyesuaikan dengan pendapatan mereka. Ditambah dengan inflasi yang sudah bertubi-tubi terjadi dalam dua tahun terakhir.

"Banyak biaya hidup bertambah tanpa diikuti oleh kenaikan pendapatan secara signifikan. Sehingga naik 6,5 pun ya cukup membantu. Karena kalau daya beli masyarakat membaik, itu pasti bagus buat perusahaan. Bagus buat investasi dan lain-lain," pungkasnya.

Senada, pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menganggap kenaikan UMP 2025 menjadi 6,5 persen sudah cukup memadai.

Menurutnya, rumus kenaikan UMP menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan masih tetap berlaku karena undang-undang baru belum diundangkan. Sehingga, seluruh lapisan masyarakat, termasuk pengusaha dan pekerja sudah bisa mengantisipasi kenaikan upah 2025.

Ia pun melihat kenaikan UMP berada di level 6,5 persen dilatarbelakangi oleh inflasi yang berada di sekitar 4 persen-5 persen dan pertumbuhan ekonomi per provinsi di level 4 persen-6 persen.

"Sekarang ini dunia usaha memang mengalami tekanan berat dengan produktivitas dan daya saing yang rendah, tidak mampu bersaing dengan barang-barang impor," ujarnya.

"Namun dengan kenaikan UMP 6,5 persen itu, pengusaha selayaknya dapat menyesuaikan diri, tidak perlu melakukan PHK," imbuh Payaman.

Selain itu, Payaman menilai tidak perlu juga untuk menetapkan Upah Minimum Padat Karya dam Upah Minimum Padat Modal.

"Untuk usaha padat modal tidak perlu diatur, silahkan serikat pekerja dan pengusaha merundingkan upah terendah di perusahaan masing-masing. Karena sudah ditetapkan oleh MK. Upah Minimum Sektoral boleh dilanjutkan seperti di masa lampau," ujar dia.

Setali tiga uang, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menuturkan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen bisa mendorong konsumsi masyarakat sehingga diharapkan dapat meningkatkan permintaan agregat. Dunia usaha malah bisa terdampak positif dari kenaikan permintaan agregat ini.

"Jadi saya rasa tidak ada PHK seperti yang disampaikan oleh pengusaha. Kecuali, ya usahanya memang sudah tidak bisa bersaing sehingga tidak mampu memanfaatkan permintaan agregat," ucap Nailul.

Bahkan, ia merasa pemerintah tidak perlu sampai membentuk Satgas PHK. Menurutnya, hal tersebut justru bisa menjadi landasan pengusaha melakukan pemecatan terhadap pekerjanya.

"Pemerintah seharusnya membuat penyehatan dengan perlindungan dunia usaha seperti pembatasan impor. Bukan malah memberikan pertumbuhan upah minimum yang rendah atau membentuk Satgas PHK," ujarnya.

(pta)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER