Jakarta, CNN Indonesia --
Pengusaha yang menjadi terpidana korupsi timah Harvey Moeis dan istrinya, Sandra Dewi, rupanya telah menjadi penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan sejak 2018.
Padahal, program ini umumnya diberikan kepada masyarakat yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu. PBI BPJS Kesehatan berarti iurannya ditanggung pemerintah melalui kas negara, di mana salah satu sumbernya adalah pajak rakyat.
"Harvey Moeis dan Sandra Dewi. Keduanya terdaftar sejak 1 Maret 2018," ujar Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Ani Ruspitawati dalam keterangan di Jakarta, Minggu (29/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ani berdalih terdaftarnya Harvey dan Sandra Dewi merupakan upaya dari Pemprov DKI melalui Dinas Kesehatan Jakarta dalam memenuhi hak kesehatan bagi seluruh warga Jakarta, sebagai implementasi kebijakan Universal Health Coverage (UHC) dari pemerintah pusat, tanpa memandang status sosial ekonomi warga.
Hal ini, katanya, sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 169 Tahun 2016 tentang Kepesertaan dan Jaminan Pelayanan Kesehatan.
Ani menuturkan pada kala itu Pemprov DKI Jakarta menargetkan untuk mendaftarkan sebanyak 95 persen penduduk sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sementara, Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah menjelaskan dari hasil pengecekan data, Harvey dan Sandra Dewi masuk ke dalam segmen PBPU Pemda dari Pemprov DKI Jakarta.
Pekerja Bukan Penerima Upah Pemda alias PBPU Pemda adalah kelompok peserta BPJS Kesehatan yang didaftarkan oleh pemda. Rizzky menegaskan nama pasangan pengusaha dan artis itu masuk dalam usulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
BPJS Kesehatan mengamini iuran Harvey dan Sandra ditanggung pemda melalui APBD dengan hak kelas rawat 3. Persyaratan untuk menjadi PBI Pemda, kata Rizzky, tak harus fakir miskin atau orang tidak mampu.
"Adapun nama-nama yang termasuk dalam segmen PBPU Pemda ini sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat," tegas Rizzky saat dikonfirmasi, Minggu (29/12), dikutip detikcom.
Lantas bagaimana bisa orang kaya seperti Harvey dan Sandra menjadi penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan?
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyalahkan kebijakan Kartu Jakarta Sehat (KJS) Pemprov DKI Jakarta yang membuat orang kaya bisa menikmati PBI BPJS Kesehatan.
Program KJS dicanangkan oleh Gubernur DKI Jakarta ke-16 Joko Widodo (Jokowi) saat dirinya menjabat pada 2012 bersama wakilnya kala itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Timboel menilai seharusnya orang kaya seperti Sandra Dewi dan Harvey Moeis mengetahui KJS hanya diberikan kepada orang fakir miskin dan tidak mampu. Hal itu mengacu pada Pasal 14 dan Pasal 17 Undang-Undang (UU) 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
"Tapi kebijakan pemerintah DKI itu mengobral, sehingga Harvey Moeis dan Sandra Dewi menjadi peserta. Ini kan sudah hal yang sangat tidak tepat dan ini ada kebijakan koruptif. Karena apa, orang yang enggak berhak dibiayai, sementara ada orang yang belum dapat, orang miskin, karena keterbatasan kuota, ada dong batas anggarannya pastinya," ujar Timboel kepada CNNIndonesia.com, Senin (30/12).
"Yang mampu diberikan, yang tidak mampu tidak masuk karena kuotanya juga ada pembatasan. Ini artinya ada ketidakadilan selain persoalan kebijakan yang koruptif, yang tidak tepat sasaran, ini juga menjadikan ketidakadilan bagi rakyat miskin kita," sambungnya.
Ia menegaskan tidak boleh orang masyarakat mampu, apalagi seperti Harvey dan Sandra Dewi menjadi peserta PBI. Menurutnya, pasangan tersebut harus menjadi peserta mandiri atau peserta penerima upah.
Timboel berpendapat seharusnya program KJS diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sebab, ia meyakini APBD Pemprov DKI telah digunakan untuk membiayai orang yang mampu seperti Harvey Moeis dan istrinya.
Ia pun mengungkap persoalan pendataan JKN memang telah lama menjadi masalah klasik. Timboel merujuk Survei Kesehatan Indonesia 2023 oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), di mana 35 persen peserta PBI diisi oleh pegawai swasta, yang seharusnya masuk ke dalam kategori penerima upah (PPU).
Kategori PPU ini iurannya tak ditanggung pemerintah. Iurannya sebesar 4 persen dibayar pemberi kerja, lalu 1 persen dibayar pekerjanya.
Namun, menurutnya, hal ini dibiarkan saja oleh Kementerian Sosial (Kemensos) yang bertanggung jawab dalam penyediaan data, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang memverifikasi data hingga Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai pemberi dana.
"Ini kan sudah tidak masuk akal, dan ini kan namanya sebuah proses ketidakadilan. Rakyat yang mampu sebagai penerima upah dibayarkan, sementara banyak rakyat miskin yang dinonaktifkan dan yang belum dapat penjaminan dari pemerintah," tegasnya.
Timboel menilai digelontorkannya APBN atau APBN untuk membiayai iuran PBI bagi masyarakat mampu seperti Harvey Moeis dan Sandra Dewi adalah hal yang tidak efisien dan tidak adil, di mana uang rakyat digunakan untuk membiayai orang mampu.
Ia mencontohkan jika pemerintah menggelontorkan Rp42 ribu per orang per bulan dari APBD untuk 100 orang kaya yang terdaftar PBI BPJS, maka anggaran daerah bisa tekor sampai Rp4,2 juta per bulan.
"Itu inefisiensi, itu kebijakan koruptif menurut saya yang memang tidak tepat sasaran. Karena dinyatakan dengan sangat jelas Pasal 14 dan Pasal 17 bahwa yang berhak mendapatkan PBI adalah orang fakir miskin dan atau tidak mampu, tidak bisa untuk yang lainnya," kata dia.
"Inefisiensi karena ketidak tepat sasaran ini menyebabkan ketidakadilan target penerimaan bantuan iuran BPJS, target iuran yang dibayarkan oleh pemerintah sebagai PBI kan akhirnya menyasar orang mampu, tapi menghambat orang miskin mendapatkan," imbuh Timboel lebih lanjut.
Ia pun berharap pemerintah lebih serius untuk menangani pendataan PBI BPJS Kesehatan. Menurutnya, kasus Sandra Dewi dan suaminya menggambarkan target penerimaan PBI yang tidak tepat sasaran.
"Saya berharap memang pemerintah harus fokus pada bagaimana 52 juta peserta yang non-aktif, karena masalah iuran, itu harus diselesaikan. Sehingga mereka menjadi peserta aktif yang bisa dilayani, ketika mereka mau pencegahan, bisa mendapatkan akses. Ketika mereka sakit, kuratif mereka bisa mendapatkan perlindungan," ujar dia.
[Gambas:Photo CNN]
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai ada sistem yang cukup keliru dalam penerapan UHC yang dijalankan oleh pemda, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta.
Ia mengatakan Pemprov DKI tidak memperhatikan kemampuan masyarakat dalam penentuan peserta PBI BPJS. Seharusnya penentuan peserta juga mempertimbangkan faktor kemampuan masyarakat.
"Karena prinsipnya yang mampu membiayai yang kurang mampu (prinsip gotong royong). Toh, juga Harvey bekerja di sebuah perusahaan yang harusnya juga membayar BPJS Kesehatan. Artinya, perusahaan tersebut harusnya mendaftarkan Harvey dan keluarganya ke BPJS Kesehatan," ujar Nailul.
Nailul pun mempertanyakan apakah terjadi pendataan kepesertaan yang dobel atau malah perusahaan tersebut tidak memenuhi kewajibannya mendaftarkan karyawannya menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Menurutnya, BPJS Kesehatan seharusnya bisa menekan kasus-kasus seperti ini. Ia pun menduga ada banyak kasus demi mengejar angka UHC, pemerintah baik pusat maupun daerah mengabaikan unsur kemampuan bayar peserta.
"BPJS juga memaksakan pemerintah untuk genjot UHC demi adanya dana masuk ke BPJS Kesehatan. Akhirnya banyak yang tidak tepat sasaran," tegas dia.
Menurutnya, harus ada perombakan terhadap sistem PBI BPJS. Sebab, uang yang digunakan untuk membiayai orang-orang mampu menggunakan PBI BPJS adalah APBN ataupun APBD, alias uang rakyat juga.
"Praktik ini membebani keuangan negara. Preseden ini harus dilihat secara serius oleh pemerintah," tegasnya.
[Gambas:Video CNN]