Ia pun mengungkap persoalan pendataan JKN memang telah lama menjadi masalah klasik. Timboel merujuk Survei Kesehatan Indonesia 2023 oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), di mana 35 persen peserta PBI diisi oleh pegawai swasta, yang seharusnya masuk ke dalam kategori penerima upah (PPU).
Kategori PPU ini iurannya tak ditanggung pemerintah. Iurannya sebesar 4 persen dibayar pemberi kerja, lalu 1 persen dibayar pekerjanya.
Namun, menurutnya, hal ini dibiarkan saja oleh Kementerian Sosial (Kemensos) yang bertanggung jawab dalam penyediaan data, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang memverifikasi data hingga Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai pemberi dana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini kan sudah tidak masuk akal, dan ini kan namanya sebuah proses ketidakadilan. Rakyat yang mampu sebagai penerima upah dibayarkan, sementara banyak rakyat miskin yang dinonaktifkan dan yang belum dapat penjaminan dari pemerintah," tegasnya.
Timboel menilai digelontorkannya APBN atau APBN untuk membiayai iuran PBI bagi masyarakat mampu seperti Harvey Moeis dan Sandra Dewi adalah hal yang tidak efisien dan tidak adil, di mana uang rakyat digunakan untuk membiayai orang mampu.
Ia mencontohkan jika pemerintah menggelontorkan Rp42 ribu per orang per bulan dari APBD untuk 100 orang kaya yang terdaftar PBI BPJS, maka anggaran daerah bisa tekor sampai Rp4,2 juta per bulan.
"Itu inefisiensi, itu kebijakan koruptif menurut saya yang memang tidak tepat sasaran. Karena dinyatakan dengan sangat jelas Pasal 14 dan Pasal 17 bahwa yang berhak mendapatkan PBI adalah orang fakir miskin dan atau tidak mampu, tidak bisa untuk yang lainnya," kata dia.
"Inefisiensi karena ketidak tepat sasaran ini menyebabkan ketidakadilan target penerimaan bantuan iuran BPJS, target iuran yang dibayarkan oleh pemerintah sebagai PBI kan akhirnya menyasar orang mampu, tapi menghambat orang miskin mendapatkan," imbuh Timboel lebih lanjut.
Ia pun berharap pemerintah lebih serius untuk menangani pendataan PBI BPJS Kesehatan. Menurutnya, kasus Sandra Dewi dan suaminya menggambarkan target penerimaan PBI yang tidak tepat sasaran.
"Saya berharap memang pemerintah harus fokus pada bagaimana 52 juta peserta yang non-aktif, karena masalah iuran, itu harus diselesaikan. Sehingga mereka menjadi peserta aktif yang bisa dilayani, ketika mereka mau pencegahan, bisa mendapatkan akses. Ketika mereka sakit, kuratif mereka bisa mendapatkan perlindungan," ujar dia.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai ada sistem yang cukup keliru dalam penerapan UHC yang dijalankan oleh pemda, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta.
Ia mengatakan Pemprov DKI tidak memperhatikan kemampuan masyarakat dalam penentuan peserta PBI BPJS. Seharusnya penentuan peserta juga mempertimbangkan faktor kemampuan masyarakat.
"Karena prinsipnya yang mampu membiayai yang kurang mampu (prinsip gotong royong). Toh, juga Harvey bekerja di sebuah perusahaan yang harusnya juga membayar BPJS Kesehatan. Artinya, perusahaan tersebut harusnya mendaftarkan Harvey dan keluarganya ke BPJS Kesehatan," ujar Nailul.
Nailul pun mempertanyakan apakah terjadi pendataan kepesertaan yang dobel atau malah perusahaan tersebut tidak memenuhi kewajibannya mendaftarkan karyawannya menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Menurutnya, BPJS Kesehatan seharusnya bisa menekan kasus-kasus seperti ini. Ia pun menduga ada banyak kasus demi mengejar angka UHC, pemerintah baik pusat maupun daerah mengabaikan unsur kemampuan bayar peserta.
"BPJS juga memaksakan pemerintah untuk genjot UHC demi adanya dana masuk ke BPJS Kesehatan. Akhirnya banyak yang tidak tepat sasaran," tegas dia.
Menurutnya, harus ada perombakan terhadap sistem PBI BPJS. Sebab, uang yang digunakan untuk membiayai orang-orang mampu menggunakan PBI BPJS adalah APBN ataupun APBD, alias uang rakyat juga.
"Praktik ini membebani keuangan negara. Preseden ini harus dilihat secara serius oleh pemerintah," tegasnya.
(pta)