Sementara itu, Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menyinggung bagaimana Trump mengobarkan perang dagang dengan China pada periode pertamanya. Apa yang dilakukan sejak 2018 itu ditempuh demi memperbaiki defisit neraca perdagangan sekaligus melindungi pasar domestik AS.
Ia menegaskan kepemimpinan Presiden Trump cenderung menghasilkan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan domestik AS. Pada akhirnya, pendekatan ditempuh melalui negosiasi bilateral yang tegas.
Sang ekonom juga menyoroti bagaimana kebijakan fiskal Trump cenderung ekspansif. Kombinasi pemotongan pajak dan belanja infrastruktur yang masif membuat kebijakan fiskal AS berbuah defisit anggaran dan bengkaknya utang pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagai kombinasi dari kebijakan proteksionisme dan kebijakan fiskal yang ekspansif, kepemimpinan Presiden Trump akan cenderung menghasilkan inflasi yang lebih tinggi," prediksi Yusuf.
"Pada gilirannya, ini akan cenderung mendorong The Fed mempertahankan suku bunga di kisaran tinggi untuk waktu yang lebih lama atau higher for longer," sambungnya.
Imbasnya, arus modal dari emerging markets akan kembali ke AS. Dolar bakal menguat, serta menciptakan tekanan pada mata uang dan pengetatan likuiditas di pasar modal seluruh dunia.
Yusuf Wibisono menawarkan tiga langkah yang bisa dipilih pemerintah. Pertama, memitigasi pelemahan rupiah dan potensi tekanan pada kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
Nilai tukar rupiah jelas terpengaruh tindakan Trump. Ekspektasi inflasi AS yang lebih tinggi akan diikuti lonjakan tingkat bunga The Fed.
"Di periode pertama kepemimpinannya, narasi provokatif Presiden Trump tentang kebijakan fiskal atau perang dagang dengan China (juga) sering membuat pelaku pasar panik dan bereaksi secara berlebihan. Kenaikan BI rate untuk menjaga rupiah akan berdampak negatif dan menekan pertumbuhan ekonomi domestik," prediksi Yusuf.
Oleh karena itu, pemerintahan Prabowo mesti bersiap menjalankan upaya kedua, yakni memitigasi defisit dan utang. Pelemahan rupiah rentan meningkatkan defisit anggaran.
Yusuf mengatakan arus keluar modal akibat suku bunga tinggi The Fed dan yield tinggi obligasi pemerintah AS bakal menekan pasar. Negara pada akhirnya bakal menaikkan imbal hasil surat utang pemerintah.
"Ketiga, mitigasi dampak perang dagang antara AS dan China yang kemungkinan besar akan kembali mengalami eskalasi di era Trump. Perang dagang AS-China sejak 2018 telah membuat peran Indonesia cenderung semakin mengecil dalam rantai pasok global," tuturnya.
Ada dua kombinasi yang membuat sinar Indonesia justru semakin redup di tengah perang dagang itu.
Satu, seteru ini membuat banyak perusahaan multinasional yang berlokasi di China mencari alternatif rantai produksi yang lebih aman. Asia Tenggara menjadi pilihan, tapi bukan ke Indonesia, melainkan Vietnam, Thailand, atau Malaysia.
Dua, perang dagang memaksa Negeri Tirai Bambu mengalihkan tujuan ekspornya dari pasar tradisional AS ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Imbasnya, impor Indonesia dari China melonjak tinggi.
"Banjir impor dari China dengan harga sangat murah yang terindikasi dumping ini telah memukul industri dalam negeri, seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, keramik, produk kecantikan, hingga perangkat elektronik," tutup Yusuf.