Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyentil langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menarik negaranya dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement.
Bahlil bingung dengan langkah Trump tersebut karena AS merupakan salah satu negara yang menandatangani Perjanjian Paris pada 2016 lalu.
"Saya juga bingung Presiden Amerika baru terpilih langsung mundur dari Paris Agreement, padahal salah satu yang mempelopori. Dia yang memulai, tapi engkau juga juga yang mengakhiri," katanya dalam acara Berita Satu Outlook 2025 di Hotel Westin Jakarta, Kamis (30/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahlil mengatakan langkah Trump tersebut membuat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) diadang ketidakpastian. Kendati demikian, Indonesia masih menjadi bagian dari konsensus global tersebut.
Namun, Bahlil menyebut Indonesia menghadapi dilema menuju transisi energi. Pasalnya dibutuhkan biaya yang besar.
Karena itu, pemerintah masih terus melakukan perhitungan potensi energi hijau yang ada. Begitu juga dengan negara lain seperti China yang belum 100 persen beralih ke energi hijau.
"Jadi menurut saya adalah kita harus memperkuat keunggulan komparatif kita dengan tetap memperhatikan konsensus daripada Paris Agreement," katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani mengatakan mundurnya AS dari Paris Agreement juga tak bakal mempengaruhi pendanaan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP).
Kesepakatan JETP terjalin antara Indonesia dengan negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG). Organisasi itu dipimpin oleh AS dan Jepang.
Menurut Eniya, langkah AS tak bakal berpengaruh pada JETP karena pendanaan terutama untuk pensiun dini PLTU terbesar berasal dari Jepang.
"Saya rasa sih enggak terlalu (berpengaruh). Pendanaan kan ada dari Jepang. Dana itu sekarang bergerak di Asia. Yang termasuk funding-nya pensiun dini sebetulnya mostly dari Jepang, bukan dari Amerika," katanya.
(fby/pta)