Sedangkan, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan tutupnya Sritex adalah puncak dari kenyataan pahit yang harus diterima Indonesia bahwa industri tekstil memang tengah tertekan imbas tak ada solusi konkrit dari pemerintah selama ini.
"Ini kan udah akumulasi dari semua persoalannya industri tekstil kita ya yang dibiarkan oleh pemerintahan menjadi sunset industri selama ini, sehingga, Sritex ini kan yang kesekian. Perusahaan-perusahaan kecil, tekstil kecil sudah dari kemarin-kemarin sudah pada tutup. Banyak PHK yang terjadi di sektor industri," jelas Ronny.
Ada empat masalah yang dilihat Ronny menjadi penyebab industri tekstil tidak mampu bertahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, kebijakan pembatasan impor melalui Permendag 8/2024 yang menyebabkan harga bahan baku industri tekstil naik karena banyak dari impor.
Kedua, tidak mengalami modernisasi teknologi. Padahal teknologi harusnya menjadi salah satu variabel yang bisa membuat industri tekstil semakin kompetitif.
"Karena dengan teknologi yang baru, teknologi yang jauh lebih canggih, perusahaan tekstil bisa memproduksi dengan biaya yang jauh lebih rendah. Tapi selama ini itu juga nggak terlalu di-endorse oleh pemerintah melalui perbankan atau lainnya agar industri-industri tekstil kita melakukan teknologisasi secara bertahap," kata Ronny.
Ketiga, masalah daya beli rendah. Masalah itu membuat masyarakat lebih memilih belanja produk impor yang harganya jauh lebih murah.
Keempat, Ronny melihat industri tekstil dalam negeri kurang fashionable. Sebab, dalam industri tekstil, terutama pakain jadi memang sangat dibutuhkan update bukan hanya tentang teknologi, tapi juga kemampuan marketing, kemampuan desain dan sebagainya.
"Jadi secara total industri tekstil ini harus direformasi, harus dibantu upgrade oleh pemerintah dalam segala sisi. Bukan hanya membantu mereka dengan meningkatkan tarif impor, karena tarif impor itu jadinya mempersulit industri di dalam negeri," jelasnya.
Ronny menegaskan ada enam langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing produk tekstil/TPT Indonesia dan mencegah terjadi Sritex lainnya di dalam negeri.
Pertama, mengevaluasi tarif impor yang hanya diberlakukan untuk produk tekstil/TPT jadi. Tujuannya untuk menurunkan tarif bahan bakunya.
"Karena sebagian besar bahan baku dan bahan setengah dari industri di dalam negeri kita itu dari impor. Jadi kalau tarif impornya dinaikkan, maka harga bahan bakunya juga naik. Sehingga biaya produksi jadi ikut naik dan malah produksi jadi semakin mahal produknya, dan semakin tidak kompetitif," terang Ronny.
Kedua, memberikan kemudahan peremajaan teknologi bagi pelaku industri tekstil/TPT via kredit murah dan dengan syarat dan ketentuan (term and condition/TC) yang terjangkau.
Ketiga, memberikan prioritas tender-tender pengadaan pemerintah yang terkait dengan tekstil/kain/pakaian/dan sejenisnya kepada pelaku tekstil/TPT dalam negeri. Ini untuk memberikan jaminan keberlanjutan bisnis dan mendapatkan kemudahan akses pembiayaan.
Keempat, memberantas penyelundupan produk tekstil/TPT sampai ke level minimal. Kelima, mengupayakan rantai pasok dalam negeri untuk produk tekstil/TPT.
"Mulai dari petani kapas, misalnya, sampai pada bahan baku pewarna dan lainya, sehingga produk tekstil/TPT kita didukung oleh mayoritas konten lokal," imbuhnya.
Keenam, menghidupkan kembali lembaga-lembaga pendidikan teknologi tekstil untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) tekstil/TPT yang memiliki cukup kemampuan dan bisa menjadikan Indonesia sebagai pusat inovasi untuk produk tekstil/TPT.