Ekonom senior INDEF Aviliani juga berpendapat pemerintah bisa merayu Trump dengan menambah impor dari AS. Dia menyarankan Indonesia mengalihkan sumber impor dari negara lain ke AS untuk beberapa komoditas, seperti kapas, gandum, dan migas.
"Kalau itu saja, empat atau lima komoditas saja, itu sudah cukup besar kalau kita alihkan shifting ke Amerika," kata Aviliani saat ditemui usai Paparan Publik PT Allo Bank Indonesia Tbk di Menara Bank Mega, Jakarta, Kamis (10/4).
Selain itu, Indonesia juga perlu berbenah dalam urusan impor dan ekspor. Menurut Aviliani, AS bisa luluh bila Indonesia mengubah beberapa regulasi impor. Dia sepakat dengan rencana Prabowo melonggarkan aturan kuota impor dan TKDN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Aviliani memberi catatan agar pembukaan keran impor dan TKDN tetap harus dalam koridor melindungi industri dalam negeri.
"Bukan berarti dengan kondisi Trump ini semua barang yang lain boleh masuk. Tapi adalah yang sudah biasa kita impor itu dibuka untuk perusahaan lain, tidak hanya itu-itu saja," ujar Aviliani.
Pengamat ekonomi Andri Satrio Nugroho mewanti-wanti pemerintah dalam bernegosiasi dengan Trump. Dia memahami beberapa pelonggaran harus dilakukan agar AS menurunkan tarif 32 persen untuk Indonesia.
Meski begitu, pemerintah juga perlu memperhatikan dampak pelonggaran impor dan ekspor dengan AS. Andry mengingatkan ada beberapa agenda nasional yang berpotensi terganggu.
"Seperti impor energi, ini menurut saya pisau bermata dua, karena sekali lagi ini adalah solusi jangka pendek di tengah keinginan dari presiden untuk swasembada energi," ucapnya.
Andry mencontohkan bila Indonesia menambah impor kedelai dari AS, maka ada komoditas ekspor yang harus ditambah ke AS. Misalnya, udang vaname yang diminati pasar di AS.
"Jika kita ada ruang negosiasi di sana, pastikanlah negosiasinya tetap mementingkan nasional agenda dan visi Presiden terkait dengan swasembada energi dan pangan," ujar Andry.
(pta)