Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menegaskan memasukkan ojol ke dalam kategori UMKM justru tidak menyelesaikan masalah. Ia menegaskan sebenarnya yang perlu disepakati dan diatur adalah hubungan kerja antara pengemudi ojol dengan pengusaha aplikasi.
Kalau memang tetap disepakati sebagai mitra, pemerintah mesti mengatur hak dan tanggung jawabnya. Ini juga mencakup besaran yang dibagi antara masing-masing pihak dari bayaran penumpang.
"Bila yang disepakati pengemudi sebagai karyawan perusahaan, perlu diatur apa hak dan kewajiban pengusaha serta apa hak dan kewajiban pengemudi sebagai karyawan. Ini termasuk pembayaran iuran jaminan sosial nasional, tunjangan hari raya (THR), bonus. Dengan memasukkan pengemudi ojol sebagai UMKM, pertanyaan di atas (status hubungan kerja driver ojol) belum terjawab," tegas Payaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono tegas mengkritik apa yang dilontarkan menteri UMKM. Menurutnya, pernyataan tersebut tidak relevan serta hanya memperlihatkan ketidakpahaman sang menteri terhadap situasi dan permasalahan yang ada.
Ia menilai Maman tidak nyambung. Pasalnya, akar permasalahan di industri ride hailing adalah relasi kuasa yang timpang antara aplikator dengan mitra pengemudi.
Meski mengusung jargon kemitraan, hubungan kerja yang terbentuk justru relasi kapital-buruh yang eksploitatif. Mitra pengemudi ojol pada akhirnya dibayar murah tanpa pemberian hak dan perlindungan kerja yang memadai.
"Janji menteri UMKM yang ingin memberikan payung hukum kepada ojol sebagai UMKM dengan iming-iming akses ke BBM bersubsidi, gas LPG 3 kg, hingga KUR adalah sesat pikir. Ojol yang umumnya adalah masyarakat kelas bawah memang berhak dan sudah seharusnya menerima subsidi dari negara, tanpa harus berstatus UMKM," kritik Yusuf.
"Memberi status UMKM kepada ojol namun terus membiarkan mereka berstatus mitra aplikator adalah sebuah kesalahan kebijakan yang sangat fatal. Dengan tidak memberi status ojol sebagai karyawan aplikator, sama artinya pemerintah membiarkan eksploitasi ojol oleh aplikator terus berlanjut dengan implikasi kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan ojol," tegasnya.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berpandangan mirip. Ia menekankan bahwa akar masalahnya adalah nihil regulasi yang menaungi driver transportasi online.
Ia melihat regulasi eksisting terpencar ke beberapa kementerian, seperti tentang tarif yang ada di Kementerian Perhubungan. Sedangkan regulasi bentuk kemitraan ada di Kementerian UMKM, sehingga tak ada aturan dari Kementerian Ketenagakerjaan karena bentuknya kemitraan.
"Maka, sudah sewajarnya memang pengaturan untuk saat ini paling tepat di bawah Kementerian UMKM," ucap Huda.
"Atas dasar itu pula, bentuk kemitraan tidak boleh seperti tenaga kerja yang mengharuskan bekerja sekian jam dan sebagainya. Aturan juga harus dibuat bersama dengan asosiasi driver dengan konsep setara, termasuk tarif. Selain itu, harus ada fasilitasi dari platform untuk akses kepada jaminan kesehatan," tegasnya.
Akan tetapi, ada sejumlah dampak negatif yang akan muncul jika memang semua aturan mainnya terpusat di bawah komando Maman. Ini bahkan mencakup nasib BHR alias tuntutan tunjangan hari raya.
Huda menegaskan driver ojek online terancam tidak bisa lagi menuntut THR jika resmi dinaungi Kementerian UMKM. Walau, ia menilai ini cukup adil mengingat bentuk perjanjiannya adalah kemitraan dan bukan pekerja.
"Tidak dapat menuntut upah minimum dan sebagainya karena memang pendapatan tergantung kinerja masing-masing," bebernya.
Sedangkan dampak positif driver ojol masuk kategori UMKM adalah bisa bekerja lebih fleksibel. Pada akhirnya, aplikator dituntut fair untuk tidak menetapkan batasan waktu aktif para driver.
Kemudian, penentuan algoritma juga berpotensi bisa lebih terbuka. Huda memprediksi tidak akan ada lagi sistem algoritma yang merugikan driver, andai status kemitraan bertahan dan dipertegas Kementerian UMKM.