Senada, Direktur Riset di Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengatakan tidak ada pemenang dalam perang tarif. Baik negara yang mengenakan tarif dan dikenakan tarif sama-sama mencederai ekonomi masing-masing.
Ia pun melihat peluang berdialog sebenarnya sangat terbuka lebar bagi AS dan China.
"Namun baik Trump dan China sama-sama tidak ingin menjadi pihak yang mengalah dengan memohon negosiasi terlebih dahulu," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andri mengatakan apabila perang dagang terus berlanjut, termasuk melibatkan Indonesia yang digebuk tarif tinggi oleh AS, maka RI harus memberikan konsesi untuk diampuni tarifnya dari AS.
Jika RI terus memberikan konsesi pada AS maka secara jangka panjang akan semakin memberatkan perekonomian Indonesia.
Karena itu, pemerintah Indonesia harus mencari jurus baru untuk meredam itu. Salah satu yang bisa dipakai adalah dengan mendiversifikasi pasar ekspor komoditas andalan Indonesia.
Indonesia juga harus mendiversifikasi mitra dagang sehingga hubungan yang tercipta bisa saling menguntungkan.
"Di sisi lain, jika perang dagang ini terus berlanjut, maka langkah yang memang seharusnya diambil Indonesia adalah melakukan diversifikasi mitra dagang dan membangun kerja sama perdagangan baru dengan negara-negara yang juga terdampak tarif AS, seperti misalnya kedelai dengan Brazil, sehingga tidak lagi harus tergantung dalam satu negara," katanya.