Namun, Ronny melihat sangat wajar China mengeluarkan ancaman karena mereka ingin mempertahankan perekonomiannya dari sektor perdagangan yang selama ini berjalan. China melihat dampak ekonomi yang hilang dari AS akan sangat besar dari perang tarif ini, maka Beijing tak mau potensi dengan negara lain ikut hilang.
"Menurut saya sih itu respon yang pertama, respon yang normal dari sebuah negara sebesar China kepada negara-negara lain yang menjadi mitra dagang dia selama ini. Karena kan China berusaha untuk mengurangi economic loss-nya lah dari perang dagang ini. Jangan sampai ada negara selain Amerika yang merugikan mereka," imbuhnya.
Ronny melanjutkan, saat ini yang dibutuhkan Indonesia adalah strategic hedging atau mengurangi potensi kerugian akibat tarif Trump, di mana pemerintah harus membuat kedua negara tersebut merasa membutuhkan Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi menurut saya pilihan untuk Indonesia yaitu strategic hedging itu. Jadi Indonesia tetap bermitra dengan Amerika. Indonesia butuh Amerika dan Indonesia berusaha untuk membuat Amerika agar merasa butuh juga terhadap Indonesia. Tapi Indonesia juga harus melakukan hal sama juga dengan China," terang Ronny.
Senada, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai posisi Indonesia memang serba dilematis. Di satu sisi, pemerintah punya kepentingan untuk menjaga hubungan dagang yang baik dengan AS dan kalau bisa diperluas.
Perluasan hubungan dagang itu misalnya bisa dilakukan dengan memberikan insentif Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) kepada perusahaan AS atau membuka kuota impor agrikultur dan migas. Langkah ini bisa dianggap menjadi cara strategis untuk menghindari tarif tambahan atau bahkan membuka pasar ekspor lebih luas.
Namun, di sisi lain, langkah seperti itu bisa diendus oleh China sebagai strategi berpihak secara tidak langsung kepada AS. Apalagi kalau konsesinya terlalu besar dan terlihat menggerus relasi dagang dengan Beijing sehingga sangat berbahaya bagi Indonesia.
"Mereka bisa merespons dengan kebijakan tarif balasan atau bahkan hambatan non-tarif ke produk-produk kita. Ini bukan spekulasi kosong, karena China memang punya rekam jejak menggunakan kebijakan ekonomi sebagai alat tekanan geopolitik," kata Rendy.
Oleh sebab itu, Rendy sangat sejalan dengan Ronny bahwa Indonesia harus hari-hati dalam menghadapi pertikaian kedua mitra dagang utama dan perekonomian terbesar di dunia ini. Salah-salah langkah, Tanah Air bisa terkena dampak besar.
"Indonesia semestinya berhati-hati memainkan posisi ini. Jangan buru-buru menganggap bahwa membuka pasar untuk produk AS atau memberikan insentif ke perusahaan mereka itu murni win-win. Perlu kalkulasi yang matang soal potensi dampaknya ke hubungan kita dengan China," jelasnya.
Menurut Rendy, dalam perang dagang ini, Indonesia justru harus mengambil posisi sebagai penjaga keseimbangan, bukan sekadar ikut arus salah satu blok. Apalagi, kalau kita bicara soal hubungan investasi, China selama ini punya posisi yang sangat strategis di Indonesia.
Contohnya, lewat proyek-proyek seperti kereta cepat Jakarta-Bandung, pembangunan kawasan industri, sampai investasi di sektor hilirisasi mineral. Artinya, China bukan cuma mitra dagang, tapi juga investor besar yang terlibat dalam agenda transformasi ekonomi domestik.
Dengan demikian, maka Indonesia tidak bisa sembarangan membuat kebijakan yang terkesan 'menggeser' China dari lanskap prioritas ekonomi, apalagi kalau itu dilakukan demi memenuhi syarat dagang dari AS.
"Maka dari itu, ketika kita mulai membuka ruang negosiasi dengan AS, seperti menawarkan kuota impor migas atau agrikultur, langkah ini perlu dibarengi dengan komunikasi yang transparan dan diplomasi ekonomi yang cermat dengan China. Kita harus bisa meyakinkan bahwa ini bukan bentuk pergeseran aliansi, melainkan bagian dari strategi diversifikasi mitra ekonomi," tegas Rendy.
Rendy menekankan, dalam situasi dua kekuatan besar yang sedang bersitegang seperti sekarang, manuver Indonesia harus mencerminkan kepentingan nasional yang otonom, bukan sekadar mengikuti tekanan atau insentif dari satu pihak.
"Justru di tengah pertarungan ini, kita bisa memainkan posisi tawar dengan lebih maksimal, asal kita pandai membaca momentum dan tidak terjebak dalam jebakan zero-sum game antara dua raksasa dunia," pungkasnya.
(pta)