Yusuf memandang food estate atau lumbung pangan bukan jalan keluar dari ancaman krisis pangan. Ia justru menyarankan pemerintah mesti bertindak efektif untuk menghentikan alih fungsi lahan sawah dan merawat family farming yang utamanya berlokasi di Jawa, sebagai lumbung pangan nasional.
"Kebijakan mendorong food estate di luar Jawa adalah salah arah dan berisiko tinggi terhadap ketahanan pangan kita karena dilakukan di atas hancurnya family farming dan alih fungsi sawah yang masif di Jawa. Kita menyesalkan Presiden Prabowo Subianto yang melanjutkan kebijakan food estate dari Presiden ke-7 Joko Widodo," tegasnya.
Di lain sisi, ia menyoroti bagaimana penurunan kapasitas produksi beras nasional yang diperburuk dengan kelemahan tata niaga beras. Yusuf melihat ada perubahan besar dalam tata niaga beras nasional pada 5 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jalur distribusi dan pemasaran beras yang dulu dikuasai Bulog dan penggilingan kecil serta menengah, kini justru didominasi penggilingan dan pabrik skala besar. Masuknya pemain besar ke jalur distribusi dan pemasaran beras telah mengubah pasar di hulu.
Imbasnya, persaingan yang menguat untuk memperebutkan gabah kering panen (GKP) di tingkat petani. Apalagi, Yusuf melihat stoknya justru semakin menipis.
"Pemain besar yang memiliki jalur pemasaran langsung ke ritel modern dan cenderung memproduksi beras premium, berani membeli GKP di tingkat petani dengan harga yang lebih tinggi dari penggilingan kecil-menengah," jelasnya.
"Ketika pemerintah menetapkan kewajiban pembelian harga gabah Rp6.500 per kg tidak hanya berlaku bagi Bulog dan juga penggilingan swasta, hal tersebut positif. Namun, kebijakan tersebut sebaiknya hanya dilakukan kepada penggilingan skala besar saja," saran Yusuf.
Selain itu, pemerintah diminta mendorong produktivitas penggilingan kecil dan menengah menuju peningkatan daya saing. Tanpa perbaikan produktivitas, kebijakan harga minimum gabah di tingkat petani dianggap berpotensi semakin menggerus daya saing penggilingan skala kecil.
Sedangkan upaya jangka pendek yang bisa ditempuh pemerintah adalah tetap menjaga insentif untuk petani. Terlebih, ia menyoroti bagaimana jatuhnya harga komoditas pangan terus terulang di momen panen raya.
Jatuhnya harga gabah di tingkat petani ini bahkan tak diikuti dengan penurunan harga beras di tingkat konsumen. Harga beras tetap terpantau tinggi dengan kecenderungan terus meningkat.
"Hal ini mengindikasikan adanya keuntungan semakin besar yang dinikmati oleh pengepul atau tengkulak gabah, penggilingan atau pabrik beras, serta grosir atau agen perdagangan beras," beber Yusuf.
"Lebih jauh, kenaikan harga beras cenderung memukul masyarakat kelas bawah lebih keras dibandingkan masyarakat kelas atas. Kenaikan harga beras di pasar tradisional secara umum jauh lebih tinggi dari kenaikan harga beras di pasar modern," tandasnya.
(pta)