Yusuf menegaskan stok beras yang melimpah saat ini tak bisa dipandang sebagai keberhasilan swasembada. Ia meminta pemerintah tak cepat berpuas diri dan tetap fokus meningkatkan produksi pangan nasional.
"Pada tengah tahun kedua di 2025 ini produksi beras kemungkinan besar akan menurun seiring berakhirnya musim hujan," wanti-wanti Yusuf.
"Untuk menjaga produksi beras, selain kebijakan harga minimum gabah yang efektif, dalam jangka panjang pemerintah harus secara efektif menghentikan alih fungsi lahan sawah. Lalu, merawat family farming, terutama di Jawa sebagai lumbung pangan nasional," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia kemudian menyodorkan data bahwa produksi beras Indonesia justru stagnan dalam lima tahun terakhir, bahkan menurun. Rinciannya, 31,31 juta ton pada 2019, menjadi 31,10 juta ton di 2023, bahkan anjlok ke 30,37 juta ton di 2024.
Analis Kebijakan Pangan Syaiful Bahari kemudian membedah pola impor beras Malaysia, di mana mereka butuh sekitar 3 juta ton per tahun alias 250 ribu ton setiap bulannya. Ini berarti pasokan beras sebanyak 2.000 ton per bulan dari Indonesia tak ada apa-apanya.
Kebutuhan beras Malaysia justru dipenuhi dari negara-negara produsen, seperti Vietnam, India, dan Thailand. Di lain sisi, harga beras internasional saat ini sedang murah di level US$390-US$450 per ton.
"Tidak sulit bagi Malaysia sekarang ini impor beras dari pasar internasional karena harga di bawah dari HPP beras Indonesia. Jadi, ekspor tersebut harus dilihat bukan dalam konteks perdagangan beras regional, tapi lebih pada persahabatan. Kalau perdagangan beras regional atau internasional, jelas beras Indonesia sulit bersaing di pasar internasional," jelasnya.
Ia melihat stok beras yang dimiliki Indonesia juga belum aman untuk menopang kebutuhan konsumsi nasional sebanyak 30 juta-32 juta ton per tahun. Artinya, Indonesia per bulan rata-rata membutuhkan 2,5 juta ton beras.
Sedangkan jumlah CBP 3,7 juta ton di Bulog justru mencakup dari sisa impor beras tahun kemarin. Masa panen raya kedua dan ketiga pun dipastikan tak akan sebanyak fase pertama.
Mengukur keberhasilan swasembada beras juga tidak bisa dipatok dalam satu tahun kalender. Syaiful menyarankan pemerintah memantau geraknya selama 3 tahun hingga 5 tahun berturut-turut.
"Apakah hasil panen dari 10,6 juta hektare lahan padi itu menghasilkan 56 juta ton GKP? Kalau ini berhasil, berarti namanya tahap pemulihan," ucapnya.
"Berikutnya, tingkatkan produksinya. Jangan terus menerus hanya 5,2 ton-5,5 ton per hektare, tapi naikkan menjadi 6 ton-7 ton per hektare. Sehingga setiap tahun produksi GKP itu bisa 70 juta ton. Kalau ini berjalan, baru namanya swasembada," sambung Syaiful.
Data-data di atas membuat Indonesia setidaknya masih tetap akan mengantongi cadangan beras 3 juta ton. Kendati, itu masih setengah dari total 20 persen konsumsi beras nasional alias 10 persen.
"Kalau sudah punya cadangan beras nasional 20 persen-25 persen dari total konsumsi beras nasional, maka Indonesia sudah bisa ekspor, seperti India dan Vietnam," tutupnya.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian mengapresiasi langkah Bulog yang mau jemput bola ke para petani. Jika terus dilakukan, Indonesia akan mencatat surplus 3 juta ton di akhir tahun berkat perbandingan potensi produksi 34 juta ton dengan konsumsi di kisaran 31 juta ton.
Meski penyerapannya sudah baik, Eliza melihat ada kekhawatiran dalam aspek penyaluran beras. Ini sejalan dengan kemampuan gudang Bulog menyimpan cadangan beras yang hanya sekitar empat bulan.
"Sehingga mungkin ada yang diekspor, terlebih lagi juga dengan Malaysia kita kan memang ingin menjalin hubungan baik, hubungan dagang sesama negara di ASEAN. Namun, memang perlu berhati-hati karena itu (34 juta ton) masih angka potensi produksi, bukan riil," tuturnya.
"Kita tidak tahu 6 bulan ke depan itu seperti apa cuacanya. Lebih baik mengekspornya secara terukur. Jangan sampai membuat beras di dalam negeri itu secara psikologis bisa mempengaruhi harga. Berita-berita seperti itu (ekspor beras) bisa mempengaruhi psikologis. Jadi, ada yang memanfaatkan momen tersebut sehingga harganya dinaikkan," pesan Eliza.
Di lain sisi, Eliza juga tak menyarankan pemerintah menumpuk beras di gudang Bulog. Aksi tersebut berpotensi menurunkan kualitas yang berujung beras dibuang alias sama dengan pemborosan anggaran.