Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan aksi demonstrasi ojol kemarin adalah sinyal kuat bahwa ekonomi digital tidak netral.
Menurutnya, negara tak bisa terus berlindung di balik jargon inovasi dan disrupsi, sementara para pengemudi disuruh diam ketika dipotong pendapatannya.
"Pemerintah harus segera menegakkan aturan, menetapkan batas komisi maksimal 10 persen, membentuk forum RDP reguler, dan melibatkan pengemudi dalam setiap kebijakan tarif dan insentif," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan ojol bukan hanya tentang transportasi murah. Ojol adalah ruang ekonomi bagi jutaan rakyat yang tak punya akses kerja formal, yang tak punya modal besar, tapi punya kemauan untuk bekerja. Mereka adalah tulang punggung demokrasi ekonomi, sekaligus korban dari liberalisasi platform digital tanpa pengawasan.
"Keadilan sosial menuntut agar negara hadir membela yang lemah, bukan justru tunduk pada kekuatan modal. Apalagi jika modal itu datang dengan wajah digital yang sulit dijangkau oleh hukum konvensional," katanya.
Namun, ia tak setuju jika driver ojol dijadikan sebagai karyawan tetap. Ia memahami permintaan driver untuk menjadi karyawan sebenarnya mencerminkan keinginan mereka atas kepastian pendapatan, perlindungan kerja, dan jaminan sosial yang selama ini minim dalam hubungan kemitraan digital.
"Menjadikan semua driver sebagai karyawan penuh bukanlah solusi ideal dan bahkan berisiko menimbulkan PHK massal, terutama karena model bisnis platform ride-hailing sangat bergantung pada fleksibilitas dan variabel biaya tenaga kerja," katanya.
Ia menilai solusi yang lebih realistis dan berkeadilan adalah menciptakan kategori hukum baru di antara 'karyawan' dan 'mitra independen'. Pemerintah bisa melihat beberapa negara seperti Inggris dan Spanyol yang mulai mengarah ke model 'pekerja tergantung' (dependent contractors).
Achmad menjelaskan pekerja tergantung ini tetap fleksibel, tetapi hak-hak dasar seperti upah minimum, jaminan sosial, dan perlindungan kerja, dijamin negara.
"Bagi Indonesia, pemerintah harus segera membentuk regulasi turunan yang mereformasi definisi kemitraan digital dalam konteks hubungan kerja. Bukan dengan menjadikan mereka karyawan, melainkan membangun skema perlindungan minimum berbasis kontribusi aplikator secara proporsional," katanya.
(pta)