Bahlil Kejar Pembangunan PLTN Rampung 2027 dan Beroperasi 2032

CNN Indonesia
Selasa, 27 Mei 2025 13:50 WIB
Di RUPTL 2025-2035, pemerintah menargetkan PLTN bisa berkontribusi 500 MW dari porsi keseluruhan EBT yang mencapai 42,6 GW.
Ganggu Iklim Investasi Energi Bersih. Ilustrasi PLTU. (Foto: ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto)

Pemerhati lingkungan hingga ekonom menilai RUPTL 2030-2034 tak sejalan dengan janji transisi energi yang digaungkan Presiden Prabowo.

Sebab, dokumen rencana itu masih memuat kontribusi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan gas total 16,6 gigawatt (GW).

Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) Tata Mustasya memandang masih besarnya porsi energi fosil dalam RUPTL terbaru bertentangan dengan visi Prabowo yang ingin menyetop pembangkit fosil pada 2040, yang disampaikan dalam KTT G20 di Brasil tahun lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Tata, komitmen Indonesia untuk bebas energi berbasis fosil pada 2040 jadi mustahil tercapai. Hal ini juga membingungkan dunia bisnis yang ingin beralih ke energi bersih.

"RUPTL ini merupakan kemunduran dari pernyataan presiden di KTT G20 akhir tahun lalu mengenai komitmen transisi energi Indonesia. Ini akan memberi ketidakpastian bagi publik, lembaga keuangan, dan sektor swasta yang ingin beralih ke energi terbarukan," katanya dalam keterangan resmi, Selasa (27/5).

Ia juga menyoroti soal adanya penambahan kapasitas PLTU berbasis batu bara sebesar 6,3 GW dan gas 10,3 GW, ini setara 24 persen dari total tambahan kapasitas pembangkit.

Tata mengatakan pemerintah seharusnya fokus pada pengembangan industri rantai pasok panel surya, baterai, dan kendaraan listrik yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

"Kebijakan yang konsisten merupakan kunci, salah satunya RUPTL yang tidak memasukkan lagi pembangkit berbahan bakar fosil baru," imbuhnya.

Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati mengatakan investasi ke pembangkit listrik berbahan fosil berisiko membuat sistem energi nasional tergantung pada energi kotor.

Ia menyinggung soal pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), yang memiliki umur teknis 25-30 tahun, biasanya akan diikuti investasi pembangunan pipa gas dan terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG), kontrak pasokan gas jangka panjang, peningkatan impor gas, dan subsidi pemerintah melalui harga gas bumi tertentu (HGBT).

"Ketika proyek infrastruktur gas sudah dibangun dan modal besar sudah tertanam (sunk cost), sangat sulit bagi pemerintah atau operator untuk menutupnya sebelum akhir umur teknisnya, kecuali dengan kompensasi besar," kata Sartika.

Menurut Sartika, penambahan PLTU di tengah dominasinya yang mencapai 70 persen dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik bukan merupakan langkah yang tepat.

Sebab, jika PLTU terus ditambah maka pemerintah daerah, terutama yang selama ini ekonominya bergantung pada batu bara, akan semakin kehilangan waktu untuk membangun ekonomi alternatif di tengah sumber daya alam dan lingkungan yang telah terdampak.

"Menambah PLTU dalam RUPTL hari ini, sama seperti menuangkan bensin ke rumah yang sudah kebakaran. Di saat kita harus keluar dari dominasi batu bara, RUPTL justru memberi ruang baru. Padahal tanpa tambahan sekalipun dalam grid PLN, PLTU tetap tumbuh diam-diam lewat captive power," ucapnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira melihat RUPTL 2025-2034 lebih banyak mengakomodasi kepentingan energi fosil, baik batu bara maupun gas.

Menurutnya, langkah tersebut menjadi ganjalan bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia.

"Investor maupun pendanaan di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan RUPTL, karena pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi," ujarnya.

"Misalnya mereka mau membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi pembangkit batu bara dan teknologi yang mahal. Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal," pungkas Bhima.

(ldy/pta)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER