Head of Center Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Izzudin Al Farras menilai warga lokal yang punya toleransi tinggi justru dimanfaatkan turis. Warga asing bisa seenaknya mengeruk cuan dari keindahan alam hingga budaya Bali.
Izzudin meminta pemerintah serius memperhatikan bahaya overtourism. Penyakit yang melanda berbagai destinasi wisata di seluruh dunia itu harus segera diobati agar Bali tetap sanggup menjaga kekayaannya.
"Selain itu, ketiadaan penegakan hukum tanpa pandang bulu merupakan salah satu akar masalah menjamurnya usaha asing yang ilegal dan meresahkan warga lokal," beber Izzudin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, pemerintah daerah punya peran dalam pembuatan regulasi, seperti perizinan lahan dan bangunan. Ada juga kuasa pengawasan melalui penertiban lahan dan bangunan yang tak sesuai perencanaan serta peruntukannya.
Pemerintah Provinsi Bali sebetulnya juga punya tugas pengawasan, contohnya pengelolaan jumlah kendaraan bermotor. Efektivitas pajak kendaraan bermotor dipandang bisa melahirkan transportasi yang lebih aman dan nyaman.
"Khususnya dari penggunaan kendaraan bermotor yang tidak sesuai aturan oleh WNA," ucapnya.
"Tentu daerah juga harus bekerja sama dengan pemerintah pusat untuk menghambat laju overtourism yang ada di Bali dengan memperketat izin investasi pada level usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bagi WNA. Sehingga pengembangan dan pemberdayaan UMKM dapat diprioritaskan bagi pengusaha lokal," tambah sang ekonom.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda membedah 5 modus utama yang sering digunakan warga negara asing untuk menjajah Bali.
Pertama, menikahi penduduk lokal. Huda menegaskan praktik atau cara ini tidak boleh dibiarkan, mengingat potensi ekonomi dari wisata Bali begitu besar.
"Pekerja lokal hanya jadi tenaga kerja dengan upah murah saja. Jangan sampai nilai tambah pariwisata Bali hanya dinikmati oleh WNA. Apalagi, uangnya dikirimkan ke negara asal mereka. Termasuk juga dari pembangunan resort, club, dan lainnya oleh WNA. Itu wajib ditertibkan!" bebernya.
Modus kedua adalah pembelian paksa aset-aset milik warlok. Imbasnya, penduduk asli terpinggirkan dan budaya Bali lenyap ditelan zaman.
Pemaksaan tersebut diklaim Huda kerap terjadi di Pulau Dewata. Pembiaran bisa berpotensi melahirkan kebudayaan baru dari negara lain yang tidak pas dengan nilai-nilai lokal.
Ketiga, modus marketing. Nailul Huda melihat warga asing yang memiliki usaha di Bali akan menjajakan bisnis tersebut kepada turis dari negara asalnya.
"Kita semua tahu, banyak pelaku UMKM di Bali berasal dari China, Rusia, ataupun negara lain. Mereka menjajakan ke turis asal negara sendiri. Koneksi antar-turis dari negara masing-masing menjadi salah satu bentuk marketing mereka," ungkap Huda.
Keempat, mengakali sistem perizinan. Pembuatan izin secara online di OSS disebut bisa dibodohi dengan menggunakan nama orang lain. Bule-bule tersebut diklaim memakai nama warga lokal untuk membuka usaha di Bali.
Huda menyebut pemerintah daerah cuma kena getah. Mereka kebagian pengawasan di akhir saat sudah terjadi masalah.
Modus kelima atau yang terakhir adalah menjadi nomaden worker. Orang-orang asing itu memakai topeng sebagai pekerja online di Bali dan sekitarnya.
"Mereka menggunakan visa kunjungan biasa. Ketika habis, mereka ke Malaysia atau negara ASEAN lainnya, kemudian balik lagi ke Indonesia untuk berusaha," jelasnya.
"Masalah ini akan semakin membuat ruang usaha masyarakat lokal Bali menjadi terbatas. Orang luar (WNA) harusnya tidak boleh berbisnis persewaan vila ataupun UMKM di Bali. Dengan semakin banyak WNA yang berbisnis, manfaat ekonomi pariwisata akan lari dinikmati WNA," tutup Huda.
CNNIndonesia.com berupaya menghubungi Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bali I Made Ariandi untuk mencari tahu perbandingan pengusaha lokal Vs asing. Namun, belum ada data yang bisa disajikan hingga berita ini tayang.
(pta)