Sementara itu, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,7 persen pada tahun ini seharusnya membunyikan alarm serius bagi pemerintah.
Angka tersebut tidak hanya jauh dari ambisi Prabowo, tetapi juga terlalu rendah untuk menyerap tambahan angkatan kerja setiap tahun.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi minimal 5,5 persen hanya untuk menjaga tingkat pengangguran tetap stabil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika laju ekonomi tertahan di bawah ambang tersebut, penciptaan lapangan kerja akan mandek, dan pengangguran akan naik," jelasnya.
Kondisi tersebut akan membuka peluang lonjakan angka kemiskinan, terutama ketika sektor formal melemah dan sektor informal semakin mendominasi. Akibatnya, daya beli masyarakat akan merosot tajam, konsumsi rumah tangga melemah, dan ekonomi kehilangan sumber pertumbuhan terbesarnya.
Ia mengatakan pemerintah tidak bisa berdiam diri menghadapi risiko tersebut. Prabowo katanya tidak bisa menunggu lebih lama untuk mengaktifkan strategi fiskal yang benar-benar berpihak pada pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja.
Prabowo harus mengarahkan fokus pada program padat karya, mempercepat proyek infrastruktur yang mampu menciptakan efek pengganda tinggi, serta memberikan insentif fiskal yang tepat sasaran kepada sektor industri padat karya seperti tekstil, makanan, dan elektronik.
Selain itu, sambungnya, kolaborasi antara kebijakan fiskal dan moneter menjadi sangat penting di tengah ketidakpastian global. Bank Indonesia (BI) katanya perlu diberi ruang manuver yang cukup untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan suku bunga agar iklim investasi tetap terjaga.
"Sementara itu, pemerintah harus menahan diri dari kebijakan populis jangka pendek yang hanya menguras APBN, dan mulai mengarahkan belanja negara ke sektor-sektor yang meningkatkan produktivitas nasional," katanya.
Lebih dari itu, sambungnya, Prabowo harus membangun kepercayaan pelaku usaha dan investor dengan angkah-langkah reformasi struktural yang nyata.
Ia perlu memastikan bahwa kemudahan berusaha, kepastian hukum, dan penguatan kelembagaan bukan sekadar jargon, melainkan bagian dari desain kebijakan yang konkret.
Tanpa hal itu, realisasi investasi akan stagnan dan peluang kerja yang dijanjikan tidak akan pernah terwujud.
"Ramalan Bank Dunia dan IMF tentang pertumbuhan 4,7 persen di 2025 bukan takdir yang tidak bisa dihindari, melainkan peringatan keras bahwa tanpa perubahan arah kebijakan, risiko perlambatan ekonomi dan ledakan pengangguran bisa menjadi kenyataan yang pahit," jelasnya.