Jeritan Batang, PLTU dan Jalan Panas RI ke Energi Terbarukan

Haryono (40) masih kesal melihat kondisi laut di kampungnya hingga hari ini. Warga Desa Roban Timur, Batang, Jawa Tengah yang menghabiskan separuh hidupnya sebagai nelayan itu makin sulit melaut sejak kehadiran proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang atau Central Java Power Plant (CJPP). Pembangkit ini beroperasi sejak 3 tahun lalu.

“Di pinggiran (Pantai Roban Timur), sudah ada tongkang-tongkang batu bara yang berkeliaran di situ. Sudah ada jangkar-jangkar maupun cor-coran yang ditanam di laut,” ujar pria tersebut pada Mei lalu.

Lantaran tak ada lagi ikan di area pinggiran, Haryono harus merogoh kocek lebih dalam jika ingin melaut dengan kapalnya.

“Dulu itu, ke tengah (laut), satu jam sudah dapat banyak. Dulu bahan bakar bawanya 20 liter, sekarang 40 kadang 50 liter,” keluhnya.

Artinya, ongkos bahan bakar yang sebelumnya hanya Rp136 ribu sekali melaut– dengan asumsi harga solar subsidi Rp6.800 per liter– harganya bengkak menjadi Rp340 ribu sekali jalan.

Belum lagi, masalah abrasi yang membuat bibir pantai tergerus. Kondisi itu, menurutnya, tak lepas dari pohon cemara laut yang bertumbangan.

“Sekarang kenapa bisa tumbang? Itu karena di sebelah timur PLTU itu kan ada pemecah gelombang. Arusnya menghantam ke sana terus balik memutar ke arah kampung,” kata dia.

PLTU Batang adalah proyek pembangkit listrik tenaga uap Ultra Super Criticial (USC) sebesar 2 x 1.000 MW di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pembangunan PLTU Batang dimulai dengan peletakan batu pertama oleh Presiden Joko Widodo pada 28 Agustus 2015.

“Dari awal peletakan batu pertama untuk pembangunan PLTU itu, proyek sudah ditolak sama sekali,” ujar Haryono.

Pembangkit ini resmi beroperasi sejak Agustus 2022. PT Bhimasena Power Indonesia/BPI (Persero) berperan sebagai Badan Usaha Pelaksana yang menjual listriknya ke PT PLN (Persero) selama 25 tahun.

Tapi nelayan macam Haryono menginginkan pembangkit itu tak lagi beroperasi.

“Nelayan mencari ikan sehari-hari susah,” kata dia.

Pensiun Dini PLTU

Pemerintah sebenarnya memiliki rencana mempensiun-dinikan alias menghentikan operasional PLTU sebelum masa akhir operasionalnya yang seharusnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya Indonesia melakukan transisi energi demi mencapai target net zero emission pada 2060.

Bahkan, saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil pada November 2024 lalu, Presiden Prabowo Subianto dengan tegas menyampaikan Indonesia akan menyuntik mati PLTU dan seluruh pembangkit fosil dalam 15 tahun,

"Kami berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan semua pembangkit listrik tenaga fosil dalam 15 tahun ke depan," jelas Prabowo di G20, dikutip dari lamat Sekretariat Kabinet.

"Kami berencana untuk membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan," sambungnya.

Niatan orang nomor 1 RI itu didukung oleh aturan yang dirilis oleh presiden sebelumnya, Joko Widodo (Joko Widodo), yang telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Beleid itu mengatur perihal pensiun dini PLTU.

Sumber: Pasal 3 Perpres 112/2022, Pasal 11 Permen ESDM 10/2025

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan sedikitnya 13 PLTU direncanakan akan dipensiunkan dini dengan mempertimbangkan keekonomian serta tidak menimbulkan gejolak kekurangan pasokan dan kenaikan harga listrik.

“Di situ kan (Perpres 112 Tahun 2022) ada beberapa kriteria yang diatur misalkan umurnya, kemudian kinerjanya, efisiensinya, produktivitas. Jadi itu dilihat kita mendaftar dari umur, dari kinerja, dari emisinya semua, jadi kita udah ada daftarnya tuh yang 13 PLTU itu," ujar Dadan Kusdiana dalam rilis Kementerian ESDM pada Agustus 2024 lalu.

Sartika Nur Shalati, Policy Strategist CERAH, menjelaskan, pemerintah memberikan bobot penilaian tertinggi terkait kriteria pensiun dini PLTU tersebut kepada aspek ketersediaan pendanaan sebesar 27,1%. Sementara variabel teknis seperti usia pembangkit, kapasitas PLTU, dan tingkat utilisasi (capacity factor) memperoleh bobot paling kecil sekitar 4–5%.

"Hal ini menunjukkan bahwa dominasi pertimbangan finansial menjadi hal utama. Mengingat Indonesia mengadopsi unconditional scenario dalam NDC, maka diharapkan dukungan fiskal negara melalui APBN perlu diintegrasikan dalam kerangka blended finance agar pensiun dini PLTU tidak semata bergantung pada minat swasta dan pinjaman luar negeri," kata Sartika.

Aturan teknis mengenai pemensiunan dini PLTU pun terbit tahun ini. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan yang diteken Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 10 April 2025.

Sayangnya, komitmen transisi energi Indonesia ibarat manis di mulut saja.

Salah satunya tercermin dari ajakan Bahlil kepada pengusaha batu bara untuk tetap masuk dan berinvestasi di Indonesia.

"Yakinlah bahwa yang pemain batu bara, silahkan dulu investasi. Nggak apa-apa, bagus kok, masih bagus," ujar Bahlil di acara Mandiri Investment Forum 2025, Februari lalu.

Terbaru, Bahlil juga menegaskan bahwa dari 13 yang sempat direncanakan hingga 2025 ini, hanya satu PLTU yang akan dipensiun-dinikan yaitu PLTU Cirebon-1 yang berkapasitas 660 MW.

"Hanya satu (PLTU) pensiun dini kok, yang Cirebon, yang lainnya belum ada," kata Bahlil pada akhir Mei lalu.

Sumber data: Kementerian ESDM

Di tingkat global, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump juga menarik negaranya dari Perjanjian Iklim Paris atau yang dikenal sebagai Paris Agreement.

Trump bahkan ingin menjadikan Negeri Pam Sam sebagai pemain utama energi dari minyak dan batu bara, berbanding terbalik dari kebijakan Joe Biden dan Perjanjian Iklim Paris yang fokus ke energi hijau.

"Tak ada yang bisa menghancurkan batu bara," ujar Trump pada Januari lalu di Forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Jalan Terjal Transisi Energi RI

Dalam praktiknya, suntik mati PLTU dan upaya transisi energi terbarukan Indonesia menemui sejumlah tantangan mulai dari kebijakan politik (regulasi), tingginya ketergantungan pembangkit pada batu bara, hingga persoalan pendanaan.

Policy Strategist CERAH Shartika Nur Shalati dalam laporan "Kupas Tuntas Kebijakan Transisi Energi Presiden Jokowi: Maju atau Mundur?" (2024) menemukan tidak ada satu pun peraturan pada level undang-undang yang secara khusus mengatur transisi energi sejak era Jokowi.

Bahkan, pemerintah secara gambang menunjukkan inkonsistensi antara komitmen menjalankan transisi energi dengan praktik di lapangan.

Bukan hanya lima peraturan di atas, Permen ESDM Nomor 10/ 2025 yang mengatur soal pensiun dini PLTU dan kriteria pembangkit yang bisa dipensiundinikan pun masih memiliki beberapa lubang.

CERAH mencatat ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, termasuk rincian total kapasitas dan PLTU mana saja yang akan dipensiunkan lebih cepat. Selain itu, aturan itu tidak mengatur tenggat waktu kapan seluruh PLTU berhenti beroperasi.

"Permen ESDM ini seharusnya memuat daftar PLTU yang akan dipensiunkan, mengingat sudah banyak kajian yang dilakukan terkait PLTU yang dapat dipensiunkan lebih awal," ujar Sartika.

PLTU Cirebon yang jadi pertama disuntik-mati pun paling cepat akan berhenti operasi pada 2035.

Pernyataan Bahlil itu juga sejalan dengan isi dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dirilis November 2023, pensiun dini hanya bisa dilakukan pada dua PLTU dengan kapasitas total 1,7 GW yakni PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon.

Sumber data: Global Energy Monitor (Boom and Bust Coal 2025)

Bukan hanya belum menyumbang apa-apa pada penghentian operasional PLTU, kapasitasnya malah meningkat.

Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) mengungkap selama periode Juli 2023-Juli 2024, kapasitas PLTU batu bara RI meningkat 7,5 GW atau 15 persen.

Dari kenaikan itu, 4,5 GW di antaranya berasal dari PLTU captive, alias pembangkit berenergi batu bara yang dibangun dan digunakan untuk kebutuhan energi sendiri oleh suatu perusahaan atau industri.

Ironisnya, analisis terbaru pada Februari lalu dari lembaga riset energi global EMBER, biaya pembangkitan listrik dari PLTU captive yang baru akan lebih tinggi daripada energi terbarukan.

Perkiraan menunjukkan biaya tersebut dapat mencapai US$7,71 sen/kWh, jauh lebih tinggi dibandingkan biaya pokok pembangkitan PLN di 2020 sebesar US$7,05 sen/kWh. Selain itu, juga lebih tinggi dari tarif terbaru proyek pembangkit listrik tenaga surya dan bayu yang berkisar antara US$5,5 sampai US$5,8 sen/kWh.

"Indonesia seharusnya mulai mengurangi emisi industri smelternya dengan energi terbarukan, untuk meningkatkan aspek keberlanjutan dan daya saing produknya," ujar Analis Senior Iklim dan Energi untuk Indonesia di EMBER Dody Setiawan.

Terpisah, Executive Vice President Komunikasi Korporat & TJSL PLN Gregorius Adi Trianto menegaskan, pihaknya terus berkomitmen mendukung transisi energi secara berkelanjutan.

Perseroan, menurutnya, siap melaksanakan penugasan pemerintah, termasuk dalam mengkaji pensiun dini PLTU, guna mendorong target net zero emission dan pembangunan berkelanjutan

“PLN akan memastikan langkah ini (pensiun dini) dilakukan secara terukur, dan mempertimbangkan keandalan pasokan listrik bagi masyarakat,” ujar Gregorius melalui pesan singkatnya.

Ketergantungan pada Batu Bara

Per 2024, Kementerian ESDM mencatat kapasitas terpasang pembangkit nasional pada tahun 2024 mencapai 101 Giga Watt (GW), dengan pembangkit energi fosil mendominasi sebesar 86 GW atau 85 persen, dan pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 15,1 GW atau 15 persen.

Jika melihat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang telah disahkan Kementerian ESDM pada Mei lalu, porsi batu bara masih mendominasi sumber energi primer yakni 66,8 persen pada 2024. Sementara, EBT hanya 12,9 persen.

Realisasi Energi Mix Pembangkit Tenaga Listrik Indonesia

Sumber: RUPTL PLN 2025-2034

Produksi listrik berbasis batu bara juga terus meningkat dan hampir lima kali lipat dari 52 gigawatt hour (GWh) pada 2002 menjadi 249 GWh pada 2024.

Tingginya porsi batu bara itu membuat pemerintah seakan punya justifikasi untuk tidak meninggalkannya. Terlebih, pemerintah ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi menuju 8 persen yang membutuhkan jaminan pasokan listrik.

Tak ayal, saat menghadiri ESG Sustainability Forum 2025 pada Januari lalu, Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo memberikan klarifikasi atas pernyataan Prabowo terkait suntik mati PLTU dalam 15 tahun.

"Kita tidak mau bunuh diri secara ekonomi kalau kita tutup pusat tenaga listrik tenaga uap ekonomi kita nanti akan hancur, maka nanti itu berimbang setelah tahun 2040, tidak bakal ada pusat-pusat tenaga uap baru," ujar Hashim.

Padahal, pasokan listrik PLN masih berlebih, terutama di Jawa-Bali. Hal ini tak lepas dari megaproyek 35 ribu MW yang dimulai sejak Mei 2015 karena pemerintah menargetkan laju pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen.

Per Oktober 2024, Kementerian ESDM memperkirakan wilayah Jawa-Bali masih mengalami kelebihan pasokan listrik hingga 4 GW. Di sisi lain, berdasarkan perhitungan CERAH, sejak 2015 hingga 2023, kelebihan pasokan listrik yang tidak terpakai telah mencapai 291 ribu GWh—dan negara membayar hampir Rp300 triliun ke perusahaan listrik–rata-rata sekitar Rp33 triliun per tahun. Kelebihan pasokan listrik ini bukan hanya membebani keuangan negara, tetapi juga menghambat transisi menuju energi bersih.

Hal ini menjadi sinyal kuat bahwa perencanaan kelistrikan nasional perlu ditinjau ulang secara menyeluruh. Tanpa koreksi mendasar terhadap skema kontrak, proyeksi permintaan, dan bauran energi, pemerintah akan terus terjebak dalam lingkaran pemborosan yang menghambat pembangunan energi terbarukan.

"Oversupply Jawa-Bali masih ada 4 GW jadi beberapa pembangkit di dua hingga tahun ke depan diupayakan agak mundur jadwal operasi (COD) supaya ketersediaan listrik tidak semakin bertumpuk dan PLN tidak lebih suffer," ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P Hutajulu pada Konferensi Pers Kinerja Ditjen Gatrik Kementerian ESDM, pada Oktober 2024 lalu.

Selama satu dekade ke depan, PLN sendiri menyiapkan dua skenario penambahan kapasitas listrik dengan asumsi rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,2 persen per tahun, yaitu Skenario Renewable Energy Base (RE Base) dan Skenario Accelerated Renewable Energy Development (ARED).

Pada kedua skenario masih ada kebutuhan tambahan pembangkit PLTU sebesar 2.643 MW dengan rincian:

  • 2025: 2.326 MW

  • 2026: 34 MW

  • 2029: 6 MW

  • 2030: 2 MW

  • 2032: 6 MW

Pada skenario pertama atau RE Base, pengembangan sistem ketenagalistrikan didasarkan pada kemampuan penyelesaian pekerjaan sesuai kemampuan PLN dan pemerintah, baik dari sisi workability project maupun dari sisi finansial.

Skenario ini tidak mengejar target penurunan emisi dan bauran energi, tapi pengembangan sistem ketenagalistrikan dioptimasi terhadap biaya dan keandalan pasokan, meskipun memprioritaskan pembangkit baru menggunakan pembangkit EBT.

Sementara pada skenario kedua, penyediaan infrastruktur pengembangan sistem ketenagalistrikan difokuskan untuk berkontribusi pada penurunan emisi.

Dilihat dari dua skenario di atas, penurunan ketergantungan pada batu bara bisa dikatakan tidak signifikan – masih menyumbang lebih dari 45 persen dari bauran energi.

Padahal, banyak pemimpin bisnis di Indonesia yang mendukung penghentian penggunaan batu bara.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Savanta bertajuk “Powering up: Business Perspectives on Shifting to Renewable Electricity” (2025), 88 persen pemimpin perusahaan RI menyatakan dukungan untuk menjalankan transisi energi dan pensiun dini PLTU dalam ketenagalistrikan nasional pada 2035 atau lebih cepat.

Belum lagi bicara Indonesia yang punya banyak potensi energi terbarukan yang bisa diandalkan.

Mencari Solusi Pembiayaan

Salah satu alasan lain yang kerap didengungkan pemerintah soal sulitnya lepas dari batu bara adalah masalah pembiayaan. Bahkan untuk pensiun dini PLTU Cirebon, Indonesia pun masih membutuhkan pinjaman dari Asian Development Bank (ADB), sebagaimana dinyatakan Bahlil pada akhir Mei lalu.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menaksir biaya pensiun dini PLTU mencapai US$4,6 miliar atau sekitar Rp74,9 triliun (asumsi kurs Rp16.300 per dolar AS) hingga 2030. Jika ditarik hingga 2050, maka biayanya mencapai US$27,5 miliar atau Rp448,2 triliun.

“Dukungan pendanaan untuk pensiun dini PLTU yang tidak efisien, mahal dan menyebabkan polusi udara akut milik PLN bisa berasal dari APBN. Namun dananya yang ditambah dengan penyertaan modal negara harus dipakai untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan penguatan jaringan listrik,” ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa melalui keterangan resmi pada April lalu.

Kendati demikian, Fabby menilai terdapat manfaat jangka panjang dari penurunan biaya kesehatan, dan subsidi PLTU mencapai US$96 miliar pada 2050. Karenanya, pensiun dini PLTU perlu dilakukan.

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dalam kajiannya pun menemukan kerugian ekonomi yang bisa ditimbulkan dari pembangunan PLTU yakni mencapai Rp3,93 triliun.

"Kerugian ekonomi tersebut disebabkan oleh dampak kerusakan lingkungan, kesulitan nelayan mencari ikan, hingga sektor pertanian yang terimbas pertambangan batu bara untuk mensuplai PLTU," ujar Direktur CELIOS Bhima Yudhistira.

Indonesia sendiri bergabung dalam kemitraan Just Energi Transition Partnership (JETP) dengan rencana alokasi dana untuk transisi energi terbarukan mencapai US$19,6 miliar.

Namun, mengutip paparan Sekretariat JETP Indonesia pada Mei 2025 lalu, dana kemitraan itu mayoritas berasal dari utang berupa pinjaman komersial, konsesi, dan nonkonsesi, sekitar 75 persen. Sementara sisanya berupa investasi ekuitas, jaminan, hingga hibah. Hal ini berpotensi menimbulkan intervensi kepentingan bisnis dari para pihak pemberi dana.

Selain itu, mengutip kajian CERAH “Kupas Tuntas Kebijakan Transisi Energi Presiden Jokowi: 19 Maju atau Mundur?" (2024), skenario pengurangan emisi JETP masih menggunakan energi baru, seperti nuklir (10 GW). Kemudian, masih ada penggunaan energi fosil berupa gas sebesar 9,5 GW hingga 2050.

Ketergantungan pada energi nuklir dan gas tidak hanya berisiko menciptakan jebakan infrastruktur baru (lock-in effect), tetapi juga membuka ketergantungan baru terhadap bahan bakar impor—yang pada gilirannya dapat membebani anggaran negara dan bertentangan dengan semangat kedaulatan energi.

Investasi perbankan di sektor environmental, sosial, dan governance (ESG) bisa menjadi salah satu pintu masuk untuk mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, terutama dari sisi pembiayaan.

Berdasarkan riset ESG Outlook Policy+ "Strengthening Indonesia's Banking Sector as Champions of Resilient and Greener Future” (2024), sejumlah bank mulai menyalurkan pembiayaan untuk proyek energi terbarukan.

Namun, porsinya masih terbilang minim.

Pada 2023, Bank Mandiri menyalurkan Rp8 triliun untuk pembiayaan energi terbarukan (3 persen dari green portfolio Rp264,1 triliun), BCA Rp2,1 triliun (1 persen dari green portfolio Rp202,6 triliun), dan UOB Rp242 miliar (1,4 persen dari green portfolio Rp16,8 triliun).

"Perbankan di Indonesia memang sudah berkomitmen untuk mencapai target net-zero emissions, dan sudah menunjukkan ada pembiayaan ke energi terbarukan melalui implementasi ESG. Kami melihat, investasi ESG bisa menjadi pintu masuk agar perbankan meningkatkan portofolio pembiayaan ke sektor-sektor energi terbarukan," ujar Pendiri dan Direktur Policy+ Raafi Seiff dalam keterangannya yang dirilis Februari lau.

Namun, Pakar ESG dan Ketua Dewan Pengarah Social Investment Indonesia (SSI) Jalal mengingatkan tentang pentingnya lembaga keuangan untuk menghentikan pendanaan terhadap proyek energi fosil di tengah upaya pengendalian iklim.

"Kalau membayarkan energi terbarukan namun tetap membayarkan energi fosil juga, sama saja bohong. Bank dapat melakukan divestasi secara bertahap dengan menghentikan pembiayaan terhadap proyek energi fosil baru,” ujar Jalal.

Mengutip laporan Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia yang dirilis 2024, selama periode 2019-2021, rerata tahunan investasi energi terbarukan (ET) untuk pembangkit US$2,2 miliar atau masih lebih rendah dari rerata investasi yang dibutuhkan US$9,1 miliar per tahun.

Angka ini juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tahunan investasi bahan bakar fosil sebesar US$3,7 miliar.

Sebenarnya, Indonesia memiliki Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia yang menjadi panduan lembaga keuangan untuk menyalurkan pembiayaan. Namun, belum ada penegakan hukum yang memastikan implementasi kebijakan tersebut secara menyeluruh.

Selain itu, PLTU batu bara berlabel kuning dalam taksonomi tersebut. Artinya, PLTU batu bara dianggap sebagai sektor yang mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon yang masih bisa diberikan pendanaan.

Direktur Eksekutif SUSTAIN Tata Mustasya menyebutkani ada berbagai opsi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mempercepat transisi energi. Misalnya, secara bertahap meningkatkan pemungutan royalti maupun pajak terhadap produksi batu bara secara progresif.

"Kalau pemerintah punya kemauan politik untuk meningkatkan pungutan batu bara, Indonesia sebenarnya bisa membiayai transisi energi," kata Tata.

Selain itu, dia menilai pemerintah dapat menerapkan pajak karbon untuk PLTU, dengan batasan emisi dan harga yang tepat. Langkah ini menjadi disinsentif bagi bisnis PLTU lantaran akan memangkas laba sehingga mendorong pemilik PLTU untuk beralih ke bisnis energi terbarukan.

Tak hanya itu, Indonesia juga dapat mendapatkan biaya yang dibutuhkan untuk menutup PLTU dengan menerapkan pajak karbon tersebut.

Sayangnya, meski regulasi mengenai pajak karbon melalui Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan telah disahkan, implementasinya diundur hingga tahun ini.

Belum lagi standar biaya minimum pajak karbon masih sangat kecil Rp30 per kg karbon dioksida. Padahal OECD merekomendasikan tarif minimal sekitar US$60–75 per ton CO₂ untuk mencapai dekarbonisasi jangka menengah.

Untuk mendorong transisi energi yang nyata, pemerintah Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan biasa. Skema insentif yang selama ini ditawarkan terbukti gagal menarik minat investor. Hal ini menandakan perlunya terobosan kebijakan yang lebih berani, adil, dan berpihak pada pembangunan energi terbarukan.

Payung Hukum Lebih Tinggi

Untuk menjalankan kebijakan transisi energi, Indonesia perlu payung hukum yang lebih tinggi.

Saat ini, payung hukum tertinggi di sektor energi adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Namun, di dalamnya belum ada dibahas mengenai EBET secara detail, melainkan kelistrikan secara umum saja. Karenanya, pemerintah menyusun RUU EBT.

Salah satu poin yang diatur adalah insentif melakukan transisi energi. Dalam hal ini, badan usaha yang berkontribusi dalam pengembangan energi terbarukan dan penurunan emisi akan mendapatkan insentif nilai ekonomi karbon (carbon pricing) .

"Kalau (RUU EBT) disahkan, nilai ekonomi karbon berjalan. Kalau UU ini tidak disahkan, tidak ada insentif. Insentif inilah yang paling utama di RUU EBET ini," ujar Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi, beberapa waktu lalu.

Sementara terkait pensiun dini PLTU batu bara, Peneliti Hukum Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) Muhamad Saleh menjelaskan, ada setidaknya empat kebijakan yang telah menjamin pelaksanaan pensiun dini sekaligus memitigasi risiko keuangan yang mungkin muncul. Persoalannya tinggal menunggu kemauan politik dari pemerintah untuk melaksanakannya.

Pertama, Peraturan Presiden No 112/2022 secara jelas telah mengatur jenis dan kriteria PLTU yang musti dimatikan, bahkan juga mendorong pemerintah mewujudkan berbagai skema pembiayaan yang dibutuhkan untuk proses penutupan PLTU.

Kedua, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 5/20225 yang mengatur platform transisi energi sebagai alat fiskal yang mendukung percepatan penutupan PLTU dan pengakhiran Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL).

Dua kebijakan lainnya adalah Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

“Keempat regulasi ini cukup untuk memberi dasar bagi pemerintah melakukan transisi energi. Hanya ada satu amanat Perpres 112/2022 yang belum dijalankan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yaitu peta jalan pensiun dini PLTU yang mendetailkan kriteria serta skema pembiayaannya,” kata Saleh.

“Ini sangat krusial, makanya kita seharusnya mendorong Kementerian ESDM untuk segera mengeluarkan peta jalan. Saat ini, hanya itu (peta jalan) hambatannya,” ujarnya lagi.

Langkah cepat dan terukur pemerintah kali ini bisa jadi ditunggu-tunggu oleh nelayan di pesisir Batang, Jawa Tengah macam Haryono.

Dia beserta ratusan nelayan lainnya hanya punya harapan sederhana: melaut dengan tenang sekaligus mendapat untung dari ikan-ikan yang dibawanya. Bukan lagi menjerit karena tongkang batu bara, atau polusi kotor yang berkelindan di kampung kelahirannya.

Liputan ini merupakan bagian kerja sama antara CNN Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah (CERAH).