Apit, Yerremia dan Cerita Miris dari Pengangguran 1,01 Juta Sarjana RI

Dhio Faiz Syahrahil | CNN Indonesia
Rabu, 09 Jul 2025 07:38 WIB
Pengangguran 1,01 juta sarjana RI melahirkan cerita miris. Mereka bersedia digaji berapa saja karena sulitnya mencari pekerjaan.
Pengangguran 1,01 juta sarjana RI melahirkan cerita miris. Mereka bersedia digaji berapa saja karena sulitnya mencari pekerjaan. (iStockphoto/malerapaso).

Cerita Apit dan Yeremia sejatinya bukan isapan jempol. Keberadaan pengangguran bergelar sarjana sejatinya sudah diakui pemerintah.

Data yang dipaparkan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli beberapa waktu lalu menunjukkan ada 7,28 juta orang menganggur.

Dari jumlah itu, sekitar 1,01 juta di antaranya lulusan S1.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, pengganguran terdiri dari 177 ribu diploma, 1,62 juta lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), 2,03 juta lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 2,42 juta lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 juga mencatat ada 7,28 juta orang menganggur Februari 2025. Namun, komposisinya berbeda.

BPS menyebut sekitar 760 ribu pengangguran adalah lulusan diploma IV, S1, S2, dan S3. Sekitar 174 ribu orang pengangguran adalah lulusan diploma I/II/III.

Catatan lainnya dari BPS adalah 2,6 juta orang pengangguran lulusan SD, 1,5 juta orang lulusan SMA, 1,3 juta orang lulusan SMP, dan 935 ribu orang lulusan SMK.

Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar melihat ada dua sumber masalah di balik fenomena 1 juta sarjana menganggur. Pertama, masalah di sisi permintaan tenaga kerja.

Dia melihat lesunya ekonomi membuat daya serap perusahaan terhadap tenaga kerja menurun. Pada saat bersamaan, jumlah pencari kerja terus bertambah.

"Ini tugas pemerintah bagaimana lapangan-lapangan kerja dibuka. Kalau kita punya orang-orang SDM yang jago juga, kalau lapangan kerjanya enggak dibuka, tidak bisa," kata Timboel.

Dia berpendapat pemerintah harus segera membenahi iklim usaha agar investasi mengalir masuk. Jika hal itu terjadi, lapangan kerja akan terbuka.

Persoalannya, pemerintah belum bisa menciptakan iklim kondusif bagi para investor. Timboel menyoroti korupsi dan pungli yang membebani para pemodal.

Faktor penghambat lainnya adalah minim insentif bagi investor. Dia menyarankan pemerintah menyediakan lahan dan aset gratis untuk menarik investor. Jadi, mereka tak perlu terbebani membeli lahan untuk berbisnis di Indonesia.



"Hapus premanisme, hapus pungli. Mau masuk sini, kita fasilitasi. Harus berani. Vietnam itu negaranya ikut ngurus begitu," ujarnya.

Sumber masalah kedua adalah perguruan tinggi yang tidak mampu mencetak lulusan siap kerja. Dia melihat ada ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dengan pendidikan di perguruan tinggi.

Timboel mengatakan banyak sarjana yang kemampuan dasar operasi Microsoft Word dan Excel saja tidak bisa. Belum lagi menyoal kemampuan-kemampuan tingkat lanjut seperti bahasa asing dan teknologi.

Untuk jangka panjang, dia menyarankan pemerintah mengkaji ulang program vokasi di perguruan tinggi. Sementara itu, untuk jangka pendek pemerintah bisa membenahi program Kartu Prakerja.

Dia mengusulkan penambahan anggaran untuk program ini. Biaya pelatihan Rp3,5 juta per orang dinilai belum bisa membekali kemampuan yang diminati industri saat ini.

Selain penambahan anggaran, Prakerja perlu diselaraskan dengan perguruan tinggi. Dia menyarankan mahasiswa-mahasiswa semester akhir diikutkan ke program Prakerja sehingga saat lulus punya modal kemampuan tambahan.

"Kartu Prakerja harus berkolaborasi dengan perguruan tinggi setelah ada masukan dari Komite Vokasi tentang apa pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan sehingga dia bisa menjawab kebutuhan industri," kata Timboel.



(agt)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER