Sri Mulyani Ingin Pemda Ikut Pikul Beban Dana Pensiunan PNS Rp976 T
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti beban dana pensiun para pegawai negeri sipil (PNS) pemerintah daerah (pemda) yang mencapai Rp976 triliun.
Ia menegaskan selama ini beban uang pensiunan masih ditanggung pemerintah pusat. Kendati demikian, Sri Mulyani menyebut ke depan pemerintah daerah (pemda) harus ikut memikul beban tersebut.
Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sama-sama dipegang Menkeu Sri Mulyani dan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, beban uang pensiunan pegawai pemda itu menyentuh Rp976 triliun.
"Makanya itu masuk mengenai (temuan) BPK Rp976 triliun yang sebagai kewajiban jangka panjang, ini juga menjadi perhatian kita. Karena memang APBD selama ini tidak menanggung sama sekali dari belanja pensiun," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komite IV DPD RI di Jakarta Pusat, Rabu (9/7).
"Ini merupakan sesuatu yang nanti akan menjadi PR (pekerjaan rumah) selanjutnya yang harus kita kelola dan menjadi salah satu hal yang menjadi tantangan fiskal pusat, maupun nantinya pastinya daerah harus ikut memikul," tegasnya.
Sang Bendahara Negara menegaskan dirinya masih perlu membahas rencana perubahan penganggaran uang pensiunan pegawai pemda di masa mendatang. Pembicaraan tersebut juga akan menggandeng BPK.
"Jadi, walaupun yang meng-hire daerah, para pegawai pemerintah daerah itu (uang) pensiunnya yang membayar pusat," tuturnya.
Pada awal rapat, Ketua Komite IV DPD RI Ahmad Nawardi meminta penjelasan Kementerian Keuangan terkait beban pensiunan PNS daerah. Ia menyebut ini penting disampaikan agar pemda bisa mengantisipasi dan merencanakan pendanaan untuk kewajiban tersebut.
Ia menegaskan penjelasan itu berguna agar pejabat pemerintah daerah mampu bertindak secara kuratif, misalnya dengan menyiapkan dana cadangan atau skema pendanaan lainnya.
"Kewajiban pensiun adalah beban yang akan jatuh tempo di masa depan. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menjadi bom waktu yang meledak dan membebani APBD secara signifikan. Bahkan, berpotensi mengganggu pelayanan publik dan pembangunan di daerah," wanti-wanti Ahmad.
(skt/pta)