Melihat Ancaman Hukuman yang Intai Mafia Pengoplos 212 Merek Beras
Kementerian Pertanian (Kementan) dan Satgas Pangan Polri menemukan praktik pengoplosan 212 merek beras.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan dalam pengoplosan itu, beras yang dijual dengan harga premium, ternyata isinya dicampur dengan beras medium alias tidak sesuai standar mutu beras premium.
"Sangat kami sayangkan, sejumlah perusahaan besar justru terindikasi tidak mematuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Masyarakat membeli beras premium dengan harapan kualitasnya sesuai standar, tetapi kenyataannya tidak demikian. Kalau diibaratkan, ini seperti membeli emas 24 karat namun yang diterima ternyata hanya emas 18 karat," ujarnya lewat keterangan tertulis, Senin (14/7).
Amran mengatakan sesuai standar mutu beras yang diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020, beras premium berkadar air maksimal 14 persen, butir kepala minimal 85 persen, dan butir patah maksimal 14,5 persen.
Tak hanya di SNI, peraturan mutu beras juga turut diperkuat oleh Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras, serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31/PERMENTAN/PP.130/8/2017 tentang Kelas Mutu Beras.
Lantas apakah pelaku usaha yang mengoplos beras bisa dikenakan hukuman?
Pengoplosan beras pada dasarnya adalah tindakan memalsukan mutu atau kualitas produk. Dengan pengolesan, konsumen yang membeli beras premium tidak mendapatkan produk sesuai dengan label.
Pengoplosan juga berarti melanggar aturan perundang-undangan soal mutu dan label beras.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tindakan tersebut dilarang.
"Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi beleid itu, dikutip Rabu (14/7).
"(e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; (f) tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut," sambung beleid tersebut.
Berdasarkan pasal 62, pelaku usaha yang melanggar aturan itu terancam hukuman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda maksimal Rp2 miliar.
"Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000" bunyi aturan tersebut.
(fby/agt)