Tanah Nganggur Bakal Diambil Alih Negara, Kapan Mulai Berlaku?
Pemerintah memastikan akan mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut, termasuk yang sudah bersertifikat resmi.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar, yang telah resmi berlaku sejak diundangkan pada Februari 2021.
Jadi, sebenarnya aturan ini sudah berlaku sejak 4 tahun lalu. Namun, aturan ini menjadi topik 'panas' belakangan ini imbas pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid.
Ia mengatakan kebijakan tersebut berlaku terhadap seluruh bentuk hak atas tanah, mulai dari Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), hak pakai, hingga hak milik.
Lihat Juga : |
"Terhadap yang sudah terpetakan dan besertifikat, manakala sejak dia disertifikatkan dalam waktu dua tahun tidak ada aktivitas ekonomi maupun aktivitas pembangunan apa-apa atau dalam arti tanah tersebut tidak didayagunakan kemanfaatannya, maka pemerintah wajib memberikan surat peringatan," kata Nusron dalam acara Rakernas PB IKA-PMII di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Minggu (13/7).
Proses pengambilalihan dilakukan secara bertahap melalui pemberitahuan awal hingga tiga kali surat peringatan.
Setelah itu, jika tidak ada aktivitas atau klarifikasi dari pemilik tanah dalam total waktu 587 hari sejak peringatan pertama, maka tanah tersebut dapat ditetapkan sebagai tanah telantar dan masuk ke dalam program reforma agraria.
"Langkah pertama adalah BPN kirim surat. Tiga bulan dikasih kesempatan. Tiga bulan masih tidak ada aktivitas, kirimi surat, peringatan pertama. Tiga bulan lagi dikirimi surat, tidak ada keterangan lagi, peringatan kedua," jelas Nusron.
Jika tetap tidak ada kegiatan, pemilik diberikan enam bulan untuk merespons. Bila tetap tidak digunakan, maka statusnya ditetapkan sebagai tanah telantar dan dapat diambil alih negara.
Memang, aturan ini sudah berlaku sejak PP Nomor 20 Tahun 2021 diundangkan, namun proses pengambilalihan terhadap lahan tertentu dilakukan bertahap, mengikuti mekanisme yang bisa memakan waktu hingga hampir empat tahun sejak hak atas tanah diterbitkan.
Pasal 7 Ayat 2 dalam PP tersebut juga menyebut tanah hak milik bisa menjadi objek penertiban jika dibiarkan telantar.
Beberapa indikatornya antara lain dikuasai masyarakat dan menjadi wilayah perkampungan, dikuasai pihak lain lebih dari 20 tahun tanpa dasar hukum, atau tidak terpenuhinya fungsi sosial atas tanah tersebut.
Selain tanah hak milik, kebijakan juga mencakup tanah hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan, serta tanah yang diperoleh berdasarkan penguasaan di lapangan.
Pengabaian terhadap penggunaan lahan selama dua tahun berturut-turut sejak penerbitan hak membuat tanah tersebut dapat ditetapkan sebagai objek penertiban.
PP 20/2021 juga menetapkan enam kategori kawasan yang menjadi prioritas pengawasan, yakni pertambangan, perkebunan, industri, pariwisata, perumahan/permukiman skala besar, serta kawasan lain yang izin pengelolaannya berkaitan langsung dengan pemanfaatan ruang dan tanah.
Namun, tanah adat dan tanah yang menjadi aset bank tanah dikecualikan dari aturan ini.
Saat ini, menurut data Kementerian ATR/BPN, dari total 55,9 juta hektare lahan bersertifikat di Indonesia, terdapat 1,4 juta hektare yang sudah berstatus tanah telantar dan menjadi bagian dari program reforma agraria.
(del/pta)