Dunia usaha menyambut positif penurunan tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen.
Namun, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menekankan pemerintah tidak boleh berhenti sampai di situ. Perbaikan terhadap iklim usaha dan dukungan terhadap industri padat karya harus menjadi prioritas.
Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani mengingatkan tantangan di sektor industri, terutama industri padat karya seperti tekstil, pakaian jadi (TPP), furnitur, sepatu, dan elektronik, masih sangat besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penurunan tarif tentu membantu, tapi tekanan terhadap industri padat karya tetap tinggi. Maka diperlukan stimulus dan insentif yang nyata agar sektor ini tetap bisa bertahan dan berdaya saing," ujar Shinta dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Rabu (16/7).
Menurut Shinta, jika tarif ekspor tetap tinggi seperti sebelumnya, yakni 32 persen, industri-industri yang mengekspor ke AS akan sangat terbebani.
Oleh karena itu, penurunan tarif menjadi 19 persen patut disyukuri. Kendati demikian, penurunan itu harus diikuti langkah-langkah lain agar manfaatnya bisa dirasakan lebih luas.
Selain fokus pada tarif ekspor, Apindo juga menyoroti biaya usaha yang masih tinggi di Indonesia. Hal ini termasuk biaya logistik, energi, hingga ketenagakerjaan, yang menurut Shinta masih membebani pelaku usaha dan membuat daya saing Indonesia tertinggal dari negara tetangga.
"Kita termasuk negara dengan ekonomi biaya tinggi. Jadi pekerjaan rumah kita adalah menurunkan cost of doing business, mulai dari logistik cost, energy cost, hingga labor cost. Ini semua harus diturunkan agar kita bisa lebih kompetitif," ujarnya.
Terkait komitmen Indonesia untuk membeli lebih banyak energi dari Amerika sebagai bagian dari kesepakatan perdagangan, Shinta mengatakan hal itu perlu dipertimbangkan secara matang, terutama karena impor energi dari AS diprediksi melonjak dari US$4,2 miliar pada 2024 menjadi US$15 miliar pada 2025.
"Impor energi dari AS harus diperhitungkan dengan cermat. Secara komersial pasti sudah ada hitung-hitungannya, apalagi sebagian besar pembelian dilakukan oleh BUMN seperti Pertamina. Tapi kita juga harus melihat dampaknya terhadap biaya logistik dan beban APBN," ujarnya.
Shinta menegaskan perbaikan iklim usaha harus terus berlanjut seiring dengan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan pemerintah.
Apindo, sambung Shinta, siap bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan agar setiap kesepakatan perdagangan bisa memberikan dampak maksimal bagi industri dalam negeri.
"Pekerjaan belum selesai. Deregulasi dan reformasi struktural harus terus dilakukan agar hasil dari penurunan tarif ini bisa benar-benar dirasakan oleh pelaku usaha dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional," katanya.
Presiden Donald Trump sebelumnya mengatakan pada Selasa (15/7), bahwa AS telah mencapai kesepakatan perdagangan dengan Indonesia setelah berbicara dengan Presiden Prabowo Subianto.
Dilansir CNN, satu-satunya detail yang diungkapkan Trump tentang kesepakatan tersebut adalah Indonesia untuk tidak mengenakan tarif apa pun atas ekspor Amerika, sementara AS akan mengenakan tarif sebesar 19 persen atas ekspor Indonesia.
Trump juga mengatakan bahwa Indonesia "dikenal dengan tembaga berkualitas tinggi, yang akan kami gunakan." Hal ini mungkin berarti bahwa tembaga dari Indonesia dapat dikenakan tarif yang lebih rendah, atau bahkan tanpa tarif.
Dengan demikian barang-barang Indonesia yang masuk ke AS akan dikenakan tarif sebesar 19 persen. Angka ini jauh di bawah 32 persen yang sebelumnya ditetapkan Trump.
"Sebagai bagian dari Perjanjian tersebut, Indonesia telah berkomitmen untuk membeli Energi AS senilai $15 Miliar Dolar, Produk Pertanian Amerika senilai $4,5 Miliar Dolar, dan 50 pesawat Boeing Jet, banyak di antaranya adalah 777," tulis Trump dalam sebuah unggahan di platform Truth Social miliknya, dikutip dari AFP.
(fdl/sfr)